Perjalanan kami sore itu dari Plered Cirebon menjelang Ashar, sekira pukul 15.00. Jalan padat, memaksa kami coba mencari alternatif dengan membelokkan laju mobil ke arah kiri. Langsung ke tempat tujuan, Rajagaluh. Setelah mengikuti jalur “Google Maps” dan sedikit mendaki, kami memarkirkan mobil di tepi jalan yang juga tak terlalu lebar.
Aku sudah lupa kapan pertama kenal dirinya. Sering-sering kami bertemu di kantor PBNU di jalan Kramat Raya 164. Dan, tiba-tiba akrab. Husni senantiasa menyambut hangat dan semayan. Kami sering bercengkrama dan bertukar pikiran. Tentu, dalam sehidangan cangkir kopi hangat. Kadang di kafe, kadang di kantor, dan sore itu di rumahnya di Kumbung, Rajagaluh.
Sahabat satu ini memang kalem dan tekun. Empat tahun turut menggawangi NU ONLINE, media resmi PBNU, telah cukup memberikannya wawasan dan pergaulan. Setiap warga Nahdliyin mesti menginginkan posisi di situ, hidup dalam lingkaran pesantren terbesar di Indonesia. Jika masyarakat Indonesia masih mempercayai NU sebagai barometer politik nasional dan internasional, Husni telah berada dalam lingkungan yang besar dan menentukan.
Desa Kumbung memang asri. Air mengalir jernih. Hampir setiap rumah memiliki kolam ikan. Seandainya kolam-kolam itu seperti subak yang tertata, mungkin bahaya banjir bisa tertata. Asalkan hutan diketinggian masih tetap terjaga.
Disambut dalam suasana hangat kekeluargaan. Sang ibu, isteri, kemudian sang bapak menerima dengan gembira. Ruangan rumah yang rapi dan bersih. Merekam masa lalu yang masih melekat. Kami pun terlibat cerita yang padat dan penuh canda. Husni memiliki gaya khas tersendiri di dalam menyampaikan gagasannya. Kalem, bersahaja, dan membuat tertawa.
Menjelang Maghrib. Kami dihidangkan makan. Tidak mewah, tapi berkesan dalam. Makanan dan piring tersaji di atas lemek lebar. Mengingatkanku pada masa-masa silam ketika masih kecil, ikut menjadi pengarak pengantin beneran dan pengantin sunat. Aku bersama teman-teman kecil mendapat tugas melantunkan “Syarofal Anam” yang diiringi oleh terbangan orang-orang Palembang. Tradisi terbangan itu memang didatangkan oleh orang-orang Palembang ke kampungku. Kami, bocah-bocah kecil, akan sangat senang mendapat giliran makan “hidangan” opor ayam, nasi minyak, dan sambal nanas. Kami akan berebutan. Tidak jarang, kami mendapat hadiah buku tulis dan uang sekadarnya untuk menambah bekal jajan di sekolah.
Dan, sore itu. Benar-benar membuat hatiku “makjleb”. “Di sini, warga kampung ini terbiasa menghormati para habaib dan kyai yang datang,” ujar Husni. Aku clingak-clinguk. Kembali, dua kali, hatiku “makjleb”. Kurang ajar, batinku tertawa.
Hingga kami pamit pulang seusai sholat Maghrib berjamaah di musholla di depan rumah, hatiku masih tak tenang. Melihat kebodohan diri dan kekhusyukan sang bapak ketika memimpin sholat. Suatu saat, aku akan kembali lagi, pikirku. Dalam momen dan tentu dengan pengharapan yang selama ini selalu tertunda. Masih terselip kata-kata Husni di sore itu, “Seburuk apapun penebar ajaran masih ada pengikutnya, seperti Harut dan Marut dalam kisah al-Qur’an.” Simbolik!
Rajagaluh, 13 Maret 2021.
Penulis: Goesd
Editor: Goesd