Beberapa hari lagi, Idul Adha akan datang. Di berbagai pelosok tanah air dan dunia, umat Islam sudah mulai bersiap-siap menyambut tamu mulia itu. Ada yang sudah memesan sapi, domba, dan kambing sebagai binatang qurban. Sebagian lain, ada yang mulai sibuk koordinasi antar panitia, agar ibadah qurban bisa terlaksana baik dengan tetap menjaga protokol kesehatan. ‘Idul Qurban, adalah hari raya tahunan umat Islam yang jatuh setiap tanggal 10 Dzulhijjah.
Secara historis, ibadah qurban adalah merupakan ritual yang menapaktilasi sejarah Nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah Ta’ala untuk menyembelih anaknya, Ismail. (QS. As-Shaffat [37]: 102). Kita mungkin akan bertanya, mengapa Tuhan menurunkan perintah seperti itu kepada Nabi Ibrahim? Bukankah agama berfungsi sebagai dasar etik untuk membangun peradaban yang manusiawi? Tetapi, mengapa Allah Ta’ala justru mengeluarkan perintah menyembelih manusia?
Perintah Tuhan itu sesungguhnya hendak meluruskan kembali sikap batin Nabi Ibrahim, yang sangat mencintai puteranya, Ismail, yang sudah bertahun-tahun diharapkan kedatangannya. (QS. As-Shaffat [37]: 100). Karena saking sayang dan cintanya kepada Ismail, akibatnya cintanya kepada Allah Ta’ala menjadi tidak utuh. Perintah Allah kepadanya untuk menyembelih Ismail tercinta dalam konteks ini sesungguhnya merupakan bentuk penyadaran Allah Ta’ala kepada Nabi Ibrahim, kepada siapa seharusnya cinta itu diorientasikan.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak hal yang menjadi sebab kejatuhan manusia seperti yang dialami Nabi Ibrahim. Obyek kecintaan selain Allah, sangatlah banyak dan beragam. Kedudukan, kepandaian, kharisma, popularitas, kekayaan, anak, istri atau suami, kerabat dan lain sebagainya. Ketika manusia terjebak dalam ekstrimitas kecintaan-kecintaan kepada hal-hal yang bersifat material dan artifisial tersebut, dia akan jatuh dalam kendali hawa nafsunya.
Kita boleh mempunyai kedudukan tinggi, kekayaan, popularitas, kepandaian, pasangan hidup yang cantik atau ganteng, dan lain sebagainya. Tetapi, kita tidak boleh menjadikan itu semua sebagai pusat orientasi dari gerak kehidupan. Jika itu yang terjadi, kita akan menjadi manusia yang gagal berperan sebagai hamba Tuhan (abdullah) dan wakil Tuhan (khalifatullah).
Dengan paradigma filosofis di atas, menjadi jelas untuk melaksanakan ibadah qurban, dengan menyembelih hewan ternak, mengandaikan sebuah kesadaran spiritual: segala sesuatu yang menyebabkan manusia terhijab dari Allah, terjatuh dalam kendali hawa nafsu, haruslah “disembelih” dan “dipotong”. Seperti yang secara simbolik diperintahkan Allah Ta’ala kepada Nabi Ibrahim.
Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan, dalam diri manusia ada tiga kekuatan hawa nafsu. Pertama, kekuatan kebinatangan (quwwah bahimiyah). Potensi ini mendorong manusia untuk mencari kepuasan lahiriah dan kenikmatan sensual yang hedonis. Kedua, kekuatan binatang buas (quwwah sabiiyah). Kekuatan ini memproduksi kesenangan untuk menyerang orang lain. Mendengki, menghujat, menteror, menyebarkan berita hoax, menghancurkan kredibilitas orang dan cara-cara buas lainnya. Ketiga, kekuatan setan (quwah syaithaniyah). Potensi ini mendorong manusia untuk membenarkan segala kejahatan yang dia lakukan dengan berbagai logika dan dasar hukum sesuai keinginannya.
Kita tentu tidak ingin karakter-karakter manusia destruktif semacam itu ada di sekitar kita. Oleh karena itu, dalam momentum Idul Qurban ini, mari kita terlibat mengedukasi umat, untuk membangun sebuah pemahaman dan kesadaran kolektif: menunaikan Ibadah Qurban tidak hanya dengan menyembelih binatang ternak; sapi, kambing dan domba. Tetapi juga, menyembelih potensi-potensi hawa nafsu destruktif dan watak-watak setan yang bersamayam dalam diri kita. Semoga.