Hingga akhir hayatnya, sematan gelar “Hadratussyekh” tidak ada yang berani dan tidak ada pula yang berniat untuk mengga menggantikannya. Satu-satunya gelar kehormatan yang disandangkan kepada Rais Akbar Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari. Dalam bahasa yang lain, disematkan pula gelar besar untuk Pempimpin Besar Revolusi, Bung Karno, dan Panglima Besar Jenderal Soedarman. Dalam konteks sejarah keindonesiaan, ketiganya adalah yang patut menyandang gelar “Besar” tersebut dengan lapangan wilayah tugas berbeda, meskipun belakangan muncul pula dengan paksaan gelar Besar dalam konteks yang berbeda.
Apa yang menyebabkan tiga “Besar” itu begitu dikenang dan dihormati oleh bangsa dan negara? Karena, ketiganya lahir dari masyarakat tanpa polemik. Tanpa ada perbedaan pendapat dari masyarakat terhadap kebesaran dari ketiganya. Gelar tersebut murni dari masyarakat.
Terlepas dari sejarah keindonesiaan, kembali kepada topik utama dari judul tersebut di atas, mencari sosok mujaddid.
Menjelang 100 tahun usia NU dan kemerdekaan Indonesia, sedikit ada pertanyaan yang menyelip, meskipun juga tidak terlalu penting. Mencari sosok mujaddid, pembaharu agama.
Ilmu kritik atau kritik sebagai ilmu yang dimunculkan oleh Mazhab Frankfut dengan teori kritiknya cukup memberi wawasan bagaimana menyikapi persoalan yang sedang berlangsung. Akankah dilepaskan mengalir begitu saja, atau ditarik kemudian dirubah sesuai selera. Ada banyak macam kritik yang kemudian masuk ke dalam relung-relung pengetahuan manusia diantaranya kritik teks, kritik sosial, kritik sejarah, kritik ilmu, kritik lukisan, dan seterusnya. Artinya, kritik sebagai ilmu difungsikan sebagai alat untuk melihat sisi pandang secara lebih obyektif meskipun menjadi bagian dari yang dikritik. Kritik yang kemudian disebut kritik diri.
Syarat dan prasyarat yang dikemukakan sebagai seorang mujtahid secara umum adalah muslim, baligh, berakal, dan adil. Menurut Imam Al-Syafi’i ditambah pengetahuan dan menguasai bahasa Arab, menguasai Al-Quran, dan menguasai hadis. Di samping, tingkat kezahidan perilaku hidupnya.
Pengetahuan demikian tidak dalam artian umum saja, melainkan detil-detilnya. Dalam arti kekinian menguasai pokok-pokok ilmu, cabang-cabang, dan detil-detil persoalannya. Tentu, seorang mujtahid tidak dikurung dalam persoalan hukum (fiqh) saja, melainkan melingkupi semua keilmuan. Artinya, menguasai pula filsafat sebagai induk ilmu, meskipun dalam arti pengetahuan obyektif.
Sebagian besar ulama berpendapat, mujtahid memiliki tingkatan-tingkatan. Tingkat tertinggi adalah Mujtahid Mutlak Mustaqil, yaitu Mujtahid yang mengaplikasikan kaidah-kaidah yang dirumuskannya sendiri secara independen dan dijadikannya metodologi berpikir dalam proses penggalian hukum Islam. Tentu hukum Islam di sini tidak dalam arti fiqh pendapat saja, namun juga dalam realitas sosialnya. Independen dalam arti mandiri, dilakukan oleh perorangan atau person. Untuk memenuhi syarat-syarat demikian, sebagian besar ulama menyangsikan untuk menyebut Mujtahid Mutlak Mustaqil masih ada. Karena, sudah dialihtugaskan kepada ijtihad kolektif (jama’i). Untuk menimbang ilmu kedokteran umpamanya, seorang ulama memerlukan pendapat-pendapat dari kalangan dokter. Demikian pula, disiplin ilmu-ilmu yang lain.
Namun, seorang Mujtahid Mutlak Mustaqil semestinya tidak serumit demikian. Bak seorang filosof, Mujtahid Mutlak Mustaqil mampu merumuskan persoalan-persoalan ilmu ke dalam realitas. Dengan ilmunya, ia tidak semata mengritik dan merekonstruksi ilmu, melainkan juga meletakkan landasan-landasan sosialnya. Ia mampu merekonstruksi tidak hanya dari segi tekstualitas, melainkan juga kontekstualitasnya. Demikian, seorang mujathid juga harus memenuhi syarat dan prasyarat mujaddid, merubah realitas.
Hafalkan Al Quran, Pahami, dan Amalkan Semampunya (I)
Foto Koleksi Galeri MQ Tebuireng Usaha paramusuh Islam, khususnya kitab suci Al Quran hingga kini tak pernah padam untuk menistakan dan...
Selanjutnya