Karya-karya sastra di satu sisi banyak menghidupkan fakta yang sudah mati, sebaliknya karya-karya normatif ilmiah dapat pula mematikan fakta-fakta yang seharusnya hidup. Hal yang dapat diambil contoh misalnya dari kasus pesantren. Kesadaran teks akan merujuk kepada hasil-hasil penelitian Martin van Bruinessen atau Zamakhsyari Dhofier secara normatif. Seperti pesantren yang diambil pengertiannya sebagaimana masa penelitian tersebut berlangsun hingga ke masa kini yang dipahami.
Pertama, Dhofier mengambil pengertian pesantren dari sejarah yang dekat, ketika sudah menjadi lembaga pendidikan normatif dan lengkap. Sehingga tidak menuntup kemungkinan pengertian dhofier tentang pesantren sudah masuk pada era ordonansi (undang-undang Belanda). Pengertian pesantren hasil dari produk dan konstruk kolonialisme. Kedua, pengertian pesantren secara normatif memiliki unsur-unsur agama sebagai pembawa pesan yang cenderung terlepas dari ikatan sosial budaya yang mengikutinya. Sebagaimana pesantren dipahami sebagai pusat pembelajaran moral atau akhlak.
Hal demikian akan berbalik dengan pesantren dalam pengertian sejarah, ketika secara historis pesantren lahir dari produk sejarah yang panjang. Jauh sebelum kolonialisme Belanda hadir. Pada era kegelapan, ketika perusahaan kongsi dagang VOC merupaka sekumpulan pedagang-pedagang lepas yang berusaha memerdekakan bangsa dan tanah airnya dari penjajahan Spanyol. Ketika perusahaan kongsi dagang tersebut berhasil mengumpulkan uang untuk memberi pinjaman-pinjaman kepada penguasa-penguasa daerah koloni yang didatangi oleh mereka. Catatan fantastis didapat, wilayah operasi VOC meliputi dari Tanjung Harapan di Barat hingga Malaka, Hongkong, Jepang, dan Papua. Pesantren yang merdeka dengan cikal bakalnya disebut sebagai tanah perdikan (berasal dari kata merdikan, merdeka) tidak pernah tersentuh ke dalam kekuasaan dan pengaruh kolonialisme yang diterapkan oleh VOC. Berbeda dengan penguasa-penguasa kerajaan yang sebagian ada yang mau berkompromi di dalam melanggengkan keinginan-keinginan VOC (dengan hutangnya) sebagaimana kemudian sejarah perbudakan yang marak mulai abad ke-16 hingga (sekarang) dengan formulasi yang baru. Upaya-upaya pemaknaan pesantren secara sejarah ini memang terdapat dua pandangan. Pertama, budaya asli Nusantara sebagaimana banyak dijumpai dalam tradisi Hindu dan Buddha dan, kedua, tradisi yang dibawa dari Timur Tengah. Sebagian berkeyakinan dari tradisi Khilafah Turki Utsmani. Namun yang jelas, pemaknaan pesantren secara tekstual belum memuaskan ketika hasilnya dari pembacaan yang kadang mengabaikan fakta-fakta sosial. Begitu pula, jawaban-jawaban sejarah sering dicampuradukkan masa dan kronologisnya. Sentimen teks masih dominan untuk memaknainya sehingga tidak memiliki pengertian yang memadai.