PPKM Darurat memang meresahkan, tapi tidak berarti buruk. Sungguh agama memerintahkan kita taat kepada pemerintah. Tapi sebagai ilmuwan, ketaatan itu mestinya lebih dikiprahkan dalam bentuk kritis yang haqq, meski pahit. Bukan taat penjilat yang membeo dan membebek. Itulah gunanya ilm al-ulama’ dalam pilar agam.
Tulisan ini sekedar mencoba melihat celah yang bisa kita ikhtiari menjadi lebih maslahah di balik kebijakan “merem” yang menggebyah uyah, tak ngerti masjid, tak ngerti kafe.
Orang beriman itu harus serba Tuhan. Menghadapi apapun wajib memposisikan Tuhan paling depan, sehingga kuriklum langit mesti dipakai seiring kurikulum bumi. Vaksinasi, prokes dan munajah.
Khusus “MASJID HIJAU”, yaitu areanya bersih dan steril, jamaahnya sehat, mencuci tangan bahkan sudah mandi terlebih dahulu seperti anjuran agama, pakai masker, ada penjarakan, udaranya los berhembus, membawa tas plastik, wadah sandal sendiri untuk menghindari desakan saat bubaran, ada tes suhu badan dan seterusnya. Pokoknya semua protokol kesehatan sudah dipenuhi, maka sangat yakin bahwa penyebaran virus klaster masjid tidak ada.
Sama dengan keyakinan prokes terhadap pengguna jasa bandara atau stasiun terhadap penumpang yang menggunakan jasa pesawat dan kereta api setelah seluruh persyaratan kesehatan dipenuhi. Malah di pesawat tidak ada penjarakan. Jika jamaah harus pakai g-Nose, boleh dan bisa diatur. Masuk bandara saja mau bayar swab antigen, padahal belum tentu tujuan ibadah.
Pada kontek ini, mohon ilmuwan tidak memaksa-maksakan akal dengan mempositif-positifkan adanya virus yang kemungkinan berpotensi nyebar di masjid. Itu dugaan sangat lemah (wahm) yang menurut teori istidlal tidak bisa dijadikan hujjah untuk penutupan masjid.
Jika alasannya daf’u al-dlarar dll.,? Oke, tapi dlararnya tidak ada seperti keyakinan kita di bandara setelah validasi atau udara di dalam pesawat yang sudah disteril. Maka Jelaslah, bahwa dasar menutup masjid hijau sungguh sangat lemah merurut nalar fiqih, apalagi logika saintifik.
Jika solusinya adalah shalat di rumah bersama keluarga dengan alasan aman, seharusnya yang aman dan yang aman saja yang ke masjid. Aman bergabung dengan aman di rumah Allah yang Maha Aman, maka aman. Sebab Tidak mungkin Tuhan menyebar penyakit di rumah-Nya Sendiri (al-Hadits, ma’na).
Demi Allah, orang beriman sungguh tidak tega menutup masjid hanya berdasar asumsi. Pemiliknya pasti tersinggung. Tempat lain, kontor, bandara dll. yang sudah disteril diyakini aman, kenapa masjid tidak?. Sungguh tidak jujur dan bukan pikiran orang beriman.
Kutukan al-baqarah : 114 terhadap penutup masjid sebagai manusia paling zalim di dunia cukup jelas dan sangat mengerikan. Dan, memang hanya jiwa beriman saja yang serius memakmurkan masjid. (al-Tawbah:18). Sekali lagi, bicara masjid adalah bicara keimanan. Jangan sampai kita dicatat Tuhan sebagai penutup rumah-Nya. “na’udz bi Allah min dzalik”.
Betapa kekhawatiran Rasulullah SAW terhadap musuh kafir di medan perang, hingga Tuhan menurunkan syari’ah shalat khauf yang dilakukan secara berjamaah dengan tehnik khusus. Bukankah pedang musuh lebih pasti dan mematikan ketimbang sekedar virus yang diduga?. Dengan tetap waspada, Rasulullah SAW shalat berjamaah bersama banyak shahabat.
Rasanya akan lebih bijak jika kegiatan shalat berjamaah di masjid seperti berjamaah maktubah, jum’ahan, id al-Adha dilaksanakan secara shift dan diatur dalam jadual yang bagus. Disiplin fiqih tak ada masalah. Itu jauh lebih sopan di hadapan Tuhan dari pada mengosongkan masjid.
Atau shalat idul adha di lapangan terbuka seperti yang dilakukan Rasulullah SAW dulu dengan tetap mematuhi prokes. Itu jika masjid tidak memungkinkan disehatkan. Terbanyak shalat id era Rasulillah SAW di lapangan, al-shakhra’. Kira-kira inilah hikmah al-tasyri’ untuk era sekarang dan kita dituntut menunaikan perintah agama sebisa-bisanya (al-Taghabun:16).
Jangan sekali-kali meremehkan perintah sunnah, apalagi yang rutin diamalkan beliau. Jangan pernah berkata : “shalat id itu hukumnya kan sekedar Sunnah…”. Ucapan itu tidak pantas keluar dari mulut ilmuwan agama. Beristighfarlah.
Penulis menyerah terhadap fatwa penutupan masjid, jika ada dalil yang sharih, bahwa Rasulullah SAW benar-benar pernah tidak shalat di masjid karena wabah. Jika sekedar pemahaman terhadap siratan sebuah Teks, tidak Tek yang lain, kaidah fiqhiyah, maka jadinya multi syarah dan debatebel. Atau ada fatwa kesehatan yang memastikan terkena virus bagi siapa saja yang shalat berjamaah di masjid walau sudah memenuhi prokes.
Bedanya wong kafir dan wong beriman dalam menghadapi pandemic adalah, wong kafir hanya pakai prokes saja, sedangkan wong beriman pakai prokes dan pakai masjid.
Al-qur’an membahasakan mati itu dengan AJAL (jatuh tempo). Artinya, sakit separah apapun, jika belum waktunya mati, tidak akan mati. Sesehat apapun, jika waktunya mati, ya mati. Mukmin mesti berharap kematian yang indah (husn al-khatimah). Sekiranya diizinkan, hamba yang kotor ini lebih memilih menghadap-MU dalam keadaan bersujud di dalam masjid, ketimbang geletak di ranjang rumah sakit. Hadana Allah, amin