Aku mencarimu oh Tuanku
di seluruh alam raya.
Sementara di rumahku
Engkau senantiasa bertahta
Puisi di atas digubah oleh Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) yang kemudian banyak dijadikan referensi oleh sufi-sufi setelah beliau. Baris-baris kalimat puitik itu menggambarkan tentang berlangsungnya pencarian spiritual yang dilakukan oleh mereka yang telah mengerti dan merasakan apa arti dari suatu dahaga ruhani.
Kesadaran tentang sangkan paran, tentang asal-usul sekaligus akhir dari segala sesuatu yang dalam terminologi keislaman dikenal dengan sebutan Allah, akan senantiasa menggerakkan siapa saja untuk melangkahkan kaki-kaki spiritualnya menuju “alamat” yang paling sakral tersebut.
Lewat sejumlah ritual yang telah dipaketkan oleh Allah SWT melalui sekian banyak ajaran yang diturunkan kepada nabi utusan terakhir, Nabi Muhammad SAW, orang-orang beriman senantiasa menyusuri berbagai macam kemungkinan untuk bisa semakin gamblang merasakan kedekatan dengan hadiratNya.
Mereka tidak hanya menggunakan hati yang merupakan antena spiritual untuk merasakan kehadiranNya lewat segala sesuatu, akan tetapi juga memfungsikan akal pikiran untuk merenungi peran-peran yang dimainkan oleh Allah SWT melalui apapun yang dikehendakiNya. Mereka mencari keagunganNya di langit, di bintang-gemintang, di rembulan, di mega-mega, di gunung-gunung, di sungai-sungai, di luas samudra raya, di mana-mana.
Karena seluruh makhluk yang bertebaran di alam semesta ini telah dipinjami wujud oleh hadiratNya, maka mustahil Allah SWT tidak memiliki sejumlah peran pada semua itu, seberapapun kadar dan prosentasinya. Dengan karunia ruhani yang dihidangkan oleh hadiratNya, melalui ketajaman mata batin (bashirah) orang-orang beriman itu pertama-tama akan menyaksikan energi-energi sekaligus perbuatan-perbuatanNya (af’alullah) pada apapun yang dipergoki, termasuk padi diri mereka sendiri.
Pada saat mereka mendapatkan tajallil af’al itu, tirai alam semesta akan tersingkap seketika. Ia tidak akan menjadi hijab lagi bagi mereka. Pada waktu yang bersamaan itu pula mereka akan merasakan puncak kenikmatan dari rasa tawakkal yang begitu anggun dan mempesona. Kenapa demikian?
Secara sufistik, jawabannya saya kira merupakan suatu kepastian. Yakni, ketika semua energi dan tindakan sudah disadari dan dirasakan bahwa sumbernya tidak lain adalah Allah SWT semata, orang-orang beriman itu akan betul-betul menyadari bahwa menciptakan rencana di luar rencanaNya, melambungkan kehendak yang tidak seirama dengan kehendakNya, memilih tujuan yang tidak sealur dengan tujuanNya, sesungguhnya sama saja dengan menabuh gendrang kesia-siaan, bahkan pengingkaran.
Itulah sebabnya tawakkal kemudian menjadi satu-satunya pilihan yang niscaya bagi mereka. Sayup-sayup tapi pasti, seakan terdengar sepotong sabda Nabi Muhammad SAW oleh pendengaran batin mereka: “Jaffatil aqlamu wa thuwiyatish shuhuf/ Pena-pena yang menulis segala takdir telah kering dan buku-buku yang mencatat takdir-takdir itu telah dilipat.”
Tawakkal dalam konteks ini bukan terutama dibangun di atas fondasi keyakinan terhadap hadiratNya, akan tetapi sepenuhnya meluncur dari suatu kesaksian (musyahadah) terhadap kemahakuasanNya yang tunggal tapi sekaligus menyebar ke seluruh partikel yang ada di seluruh jagat raya. Dan posisi kesaksian itu jauh berada di atas posisi keyakinan. Pada keyakinan itu masih terbentang adanya jarak. Sedangkan pada kesaksian jarak itu telah luruh dan lumat.
Ketika kesaksian spiritual itu bertahta di atas puncak bukit ruhani seseorang, dia akan menyaksikan sifat-sifat Allah SWT itu jauh lebih gamblang dan nyata dibandingkan dengan makhluk apapun yang paling empirik di dunia ini. Kenapa demikian?
Di hadapan bashirah seseorang yang telah tersucikan dari segala kabut kedunguan, dari lumpur dosa-dosa dan dari debu-debu kefanaan, alam semesta ini sungguh sangat temaram sebagaimana lisutnya bayang-bayang. Sementara sifat-sifat Allah SWT yang merupakan pangkal dari tindakan-tindakanNya jadi senantiasa bertahta dan beribu-ribu kali lipat jadi lebih memukau ketimbang apapun yang paling indah dari jibunan makhluk-makhluk yang begitu artifisial dan akan musnah oleh waktu ini.
Sekarang kaidah ketauhidan itu berubah menjadi terbalik: kalau dulu pada awal mula mempelajari ilmu ketuhanan dalam wacana keislaman ada adegium yang mengungkapkan bahwa adanya alam ini menunjukkan adanya Allah SWT. Kini lalu menjadi pernyataan bahwa adanya Allahlah yang menunjukkan adanya alam. Bahkan orang-orang makrifat dengan nada sedikit menyindir melontarkan selajur pertanyaan: sejak kapan Allah SWT itu menjadi samar sehingga dibutuhkan adanya makhluk untuk menunjuk kepada kemahaberadaanNya?
Sungguh sangat beruntung orang-orang makrifat yang merasa tidak terpisah sejenakpun dengan Allah SWT. Dengan demikian mereka berarti mendapatkan puncak segala kenikmatan sekaligus keindahan. Suatu kebahagiaan yang senantiasa bersemayam di kesunyian dan kesucian hati yang dalam puisi di atas disimbolkan dengan idiom tumah. Kenikmatan hakiki seperti itu tidak mungkin mereka tukar dengan apapun. Wallahu a’lamu bish-shawab.