Seorang sufi termasyhur yang dikenal sebagai imam Thariqah Malamatiyah, Syaikh Hamdun al-Qashshar (wafat pada 271 H), suatu hari pernah ditanya oleh seseorang: “Kenapa dakwah ulama terdahulu lebih efektif dan bermanfaat dibandingkan dengan dakwah ulama kita hari ini?”
“Karena ulama terdahulu,” jawab beliau dengan getar ruhani yang tidak terbantahkan sebagaimana dikutip oleh Syaikh Abu Nu’aim al-Ishfahani dalam kitabnya yang berumbul Hilyah al-Awliya’ jilid X pada halaman 231, “berdakwah untuk kemuliaan Islam (‘izz al-islam) semata, untuk keselamatan jiwa-jiwa manusia, juga untuk meraih rida Allah Yang Maha Pemurah. Tak lebih dari itu.”
“Sementara ulama generasi kita,” lanjut sang sufi yang kuburannya di Hirat masih senantiasa diziarahi, “kebanyakan berdakwah untuk “kemuliaan” diri sendiri, untuk memburu harta benda dunia, juga untuk disambut dan diagungkan oleh makhluk.”
Berangkat dari jawaban sang sufi terhadap pertanyaan di atas, setidaknya ada tiga hal yang merupakan suatu keniscayaan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh para da’i/ muballigh/ penceramah agama/ penuntun umat untuk diterapkan. Pertama, orientasi dari seluruh kegiatan dakwah yang dijalani dan ditekuni oleh mereka semestinya hanyalah satu, yaitu terealisasinya kemuliaan dan kejayaan Islam secara lahir dan batin.
Secara substansial, kemuliaan dan kejayaan Islam sesungguhnya identik dengan kejayaan semesta, bukan hanya kejayaan manusia semata. Argumentasinya jelas: seluruh ajaran Islam dihidangkan oleh Allah SWT dengan penuh cinta dan kasih sayang kepada kehidupan ini murni hanya untuk melestarikan, mengembangkan dan memberikan nilai-nilai kemuliaan kepadanya.
Sehingga manusia sebagai satu-satunya pelaku sejarah bisa sedemikian tentram sekaligus penuh progresivitas dalam menapaki episode demi episode kehidupan di dunia ini untuk kemudian dilanjutkan pada bentangan episode keabadian yang tidak bertepi di akhirat nanti.
Mengorientasikan seluruh gerakan dakwah, secara langsung maupun tidak, terhadap kemuliaan dan kejayaan Islam semata sebenarnya berarti memadukan langkah-langkah spiritual secara konkret dengan irama kehendak dan tujuanNya dalam mengutus nabi-nabi dan menurunkan kitab-kitab suci. Itulah yang dalam terminologi Qur’ani disebut dengan istilah “menolong” Allah: “In tanshurullaha yanshurkum/ Jika kalian menolong Allah, maka Dia akan menolong kalian,” (QS. Muhammad: 7).
Akan tetapi sudah dapat dipastikan bahwa gerakan dakwah yang murni diorientasikan kepada kemuliaan dan kejayaan Islam itu akan selalu berhadapan dengan rintangan yang sejatinya muncul dari dalam diri para da’i itu sendiri. Yaitu munculnya kekeruhan dan ananiyah ego dalam diri mereka yang menuntut, baik secara halus maupun menggebu-gebu, untuk senantiasa diakui, ditahbiskan sekaligus diagungkan.
Pada saat itulah orientasi yang agung itu kemudian mengalami pergeseran dari cakrawala kemuliaanNya yang tidak terhingga menuju ke kesempitan diri mereka yang kerdil, pengap dan tidak tahu malu. Jadilah kemudian dakwah agama yang mereka tekuni hanya semata sebagai kendaraan bagi mereka untuk mendapatkan penghormatan dan pelayanan yang mereka inginkan dari jamaah atau simpatisan yang kadung kecantol pada mereka.
Kedua, gerakan dakwah dilangsungkan dengan diniatkan semata untuk keselamatan jiwa-jiwa manusia. Di sini terkandung adanya sikap altruistik. Yaitu kepedulian terhadap nasib umat manusia yang digerakkan oleh cinta, kasih sayang dan keberpihakan yang penuh kesungguhan terhadap mereka. Tidak saja nasib mereka ketika hidup di dunia yang dientaskan, tapi juga yang lebih utama adalah kebahagiaan mereka di akhirat yang diperjuangkan dengan tanpa pamrih sedikit pun.
Falsafah dari gerakan dakwah yang demikian sesungguhnya sejak ribuan tahun yang silam telah diteladankan oleh para rasul ketika satu demi satu mereka diturunkan oleh Allah SWT ke tengah kancah kehidupan demi menghindarkan nasib umat manusia dari cengkraman pola dan perilaku yang destruktif, dari gurita kebinasaan dan umur yang habis dengan sia-sia.
Akan tetapi ketika zaman makin akhir dan kegandrungan terhadap materi semakin merajalela pada segala lapisan manusia, para da’i sekalipun banyak yang terjangkiti hubbud dun-ya, yaitu cinta materi yang melebihi kecintaan mereka terhadap Allah SWT. Imbas yang tidak diragukan lagi dari para da’i yang demikian adalah adanya ceramah atau dakwah yang semata dijadikan sarana untuk memburu dan menumpuk kekayaan materialistik belaka. Sungguh merupakan kenyataan yang terbalik.
Dari cara pandang yang terjangkiti virus seperti itu, mereka secara otomatis lalu melupakan idealitas dakwah yang ketiga sebagaimana yang telah didedahkan oleh Syaikh Hamdun al-Qashshar, yaitu semata untuk meraih rida Allah Yang Maha Pemurah. Yang kemudian lebih ditekankan adalah bagaimana para da’i itu, dengan cara apapun yang mereka tempuh, digemari oleh sebanyak mungkin orang di mana-mana.
Sehingga dengan demikian pintu kemungkinan untuk meraup keuntungan materialistik makin terbuka lebar. Dan inilah salah satu dampaknya: ilmu-ilmu keislaman bergemuruh hampir setiap saat, tapi umat Islam semakin jauh dari cahaya petunjuk dan bimbinganNya. A’adzanalLahu min dzalik.