Setelah mendapatkan ijazah dari Kiai Thobib, Gus Kholis segera menunjuk beberapa orang untuk mengamalkannya. Namun setelah beberapa lama, ternyata rumah itu terdengar sudah dijual ke seseorang. Mendengarnya, Gus Kholis bertanya, “wes diamalno, ta?”
“Sampun Gus, cuma dereng istiqomah berturut-turut e.”
“Owh, mangkane….” Gus kholis berkisah sambil tersenyum kecil.
Kemudian Allah mulai menampakkan kuasa-Nya. Ketika pada suatu kesempatan, Gus Kholis bertemu dengan calon pembeli rumahnya, beliau bertanya, “Dijual berapa rumah itu ke jenengan?”
Tak disangka, jawaban calon pembelinya malah begini, “Owh, tidak Gus, tidak…. saya ga berani, itu memang rumah jenengan,” jawabnya.
Ternyata, pada suatu malam, sang calon pembeli bermimpi, bahwa rumah itu sudah dimiliki Gus Kholis. Sungguh, sebuah kisah di luar nalar yang membuktikan bahwa keberkahan al-Quran mampu menembus dimensi ruang dan waktu. Dan pada akhirnya, rumah itu terbeli dengan harga di bawah harga yang ditawarkan penjualnya. Subhanallah.
Ndalem Gus Kholis memang tidak terlalu besar. Namun, aura keberkahan sangat terasa di dalamnya. Ada banyak foto kiai terpampang di sana. Dan terutama, foto guru beliau, Gus Miek. Cak Rozi mulai bertanya satu persatu foto yang terpampang di sana. Memastikan bahwa guru beliau sudah dikenal juga oleh Cak Rozi. Kemudian, setelah mengetahui setiap nama yang disebutkan, Cak Rozi menuliskannya di handphone. “Biar bisa saya masukkan dalam deretan tawasul saya, Gus,” kata Cak Rozi.
Dari Al Fatihah itulah, obrolan kami semakin hangat dan panjang. Gus Kholis bercerita, bahwa 100 fatihah yang biasa dibaca dalam sebuah Semaan Jantiko Mantab, memiliki kisah tersendiri. Dalam hal ini, tidak.saya tuliskan, karena kisahnya sangat panjang.
Namun, saya lebih tertarik bagaimana perjalanan Gus Kholis menjadi seorang muhibbin Gus Miek. Berawal dari tidak kenal sama sekali, hingga menjadi salah seorang kepercayaan dan kesayangan beliau.
Gus Kholis pada awalnya sama sekali tidak mengenal sosok Gus Miek. Beliau hanya mengenal dari cerita orang saja. Bahkan, oleh Bu Nyai Kholis (istri beliau; saat itu belum menjadi istri), Gus Kholis digojloki, “Santri, koq, ga kenal Gus Miek?” Hingga pada sebuah kesempatan, Gus Kholis diundang pada sebuah acara. Saat itu, Gus Miek rawuh. Dan, Gus Kholis melihat beliau dari kejauhan. Beliau hanya melihat saja, tanpa mengobrol atau apapun. Ketika tiba giliran beliau membaca, Gus Miek bertanya kepada tuan rumahnya, “Sopo iku seng moco?” Kemudian, tuan rumah menyebutkan biodata Gus Kholis kepada Gus Miek.
Pada lain cerita, Gus Miek ingin mengadakan sebuah semaan. Dan, entah kenapa beliau dawuh kepada tuan rumah yang memang orang kepercayaan beliau. “Tolong “anak” itu diajak kesini!” Maka, sang tuan rumah segera bergegas menghubungi Gus Kholis. Esoknya, Gus Kholis berangkat menuju lokasi semaan.
Setiba di lokasi, Gus Kholis disambut hangat oleh Gus Miek. Sesuatu yang jarang dilakukan beliau. Kalaupun dilakukan memang hanya kepada beberapa orang yang terpilih saja. Gus Kholis dicecar banyak pertanyaan oleh Gus Miek. Dan, di akhir pembicaraan, Gus Miek berpesan, “Jangan sekali-kali membantah ibumu, baik dibantah ataupun didikte. Walaupun bodoh, ibumu itu wanita yang suci.” Mendengar ini, Gus Kholis terisak. Sepanjang perjalanan pulang beliau menangis. Bagaimana mungkin sosok Gus Miek bisa mengenal dengan baik ibunya, padahal beliau baru saja bertemu muka.
Bersambung.