KH. Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940. Beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang Kiai alim, murid KH. M. Hasyim Asy’ari dan pendiri Pon-Pes Al Falah Mojo Kediri) dengan Nyai Rodhiyah. Ayah Gus Miek, Kiai Ahmad Jazuli Usman tidak pernah membeda-bedakan dalam mendidik anak, termasuk kepada Gus Miek.
Suatu ketika, Kiai Jazuli memerintahkan salah seorang santri seniornya, Pak Zaid dari Blitar untuk mengajari Gus Miek ilmu alat (nahwu) yaitu Al-Jurumiyah. Setelah mendapat perintah tersebut Pak Zaid langsung menemui Gus Miek untuk memberitahukan tugas yang diberikan kepadanya.
Ketika dimulai, Gus Miek berkata kepada Pak Zaid, “Tolong coba bacakan awalnya pak.” Setelah Pak Zaid baca Gus Miek kembali berkata, “Tolong coba bacakan bagian tengahnya pak,” dengan sabar Pak Zaid membacakan seseuai dengan permintaan Gus Miek. Sampai ketika Gus Miek meminta dibacakan bagian akhir sekaligus membacakan doa.
Tanpa terpikir oleh Pak Zaid, Gus Miek menjelaskan kitab Jurumiyah dengan panjang, lebih lengkap, dan lebih detail dari ilmu yang dimiliki oleh Pak Zaid. Padahal Pak Zaid melihat secara nyata kalau Gus Miek belum pernah belajar kitab Jurumiyah kepada siapapun.
Keesokan harinya Pak Zaid dipanggil oleh Kiai Jazuli ke kediamannya untuk melaporkan perkembangan Gus Miek. “Apa kamu sudah mengajari Gus Miek Jurumiyah?” tanya Kiai Jazuli. “Sudah Kiai, Gus Miek sudah bisa bahkan beliau menerengkan lebih luas dari ilmu yang saya miliki,” ujar Pak Zaid.
Mendengar jawaban dari Pak Zaid, Kiai Jazuli merasa kurang puas, lantas beliau menyuruh Pak Zaid untuk mengajarkan kembali Jurumiyah kepada Gus Miek. Pak Zaid menerima perintah tersebut sembari mohon pamit. Ketika baru keluar dari kediaman Kiai Jazuli, tiba-tiba Gus Miek muncul dan berkata, “Awas! anda jangan cerita kepada siapapun juga.”
Kisah Gus Miek di atas dikisahkan langsung oleh Pak Zaid kepada Gus Nur Habib Ngawi ketika bertemu di kediamannya Gus Ahmad Sholihi (huffadz semaan) Ngreco, Kediri. Gus Nur Habib Ngawi lantas menceritakan kisah tersebut kepada Ahmad Nazili Malang pada waktu acara sema’an Al Qur’an Jantiko Mantab di Kabupaten Sidoarjo. Kisah ini disimpan sangat lama sekali oleh Pak Zaid, mulai dari masa kanak-kanak Gus Miek sampai wafatnya Gus Miek.
Pada tahun 1960 Gus Miek menikah dengan Bu Lilik Suyati dari Setonogedong kota Kediri. Pernikahan ini atas saran dari KH. Dalhar (Magelang) dan disetujui KH. Mubasyir Mundzir (Kediri), para guru Gus Miek. Gadis itulah yang menurut gurunya akan sanggup mendampingi hidupnya, dengan melihat tradisi dan kebiasaan Gus Miek untuk berdakwah keluar rumah.
Pada awalnya pernikahan Gus Miek dengan gadis Setonogedong ditentang KH. Djazuli Utsman dan Nyai Rodliyah. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pernikahan itu disetujui. Saat itu Gus Miek sudah berdakwah ke diskotek-diskotek, ke tempat2 perjudian, dan lain-lain.
Dari buah pernikahannya, Gus Miek dikaruniai enam anak, empat putra dan dua putri yakni; H. Agus Tajjuddin Heru Cokro, H. Agus Sabuth Pranoto Projo, Agus Tijani Robert Syaifunnawas, H. Agus Orbar Sadewo Ahmad, Hj Tahta Alfina Pagelaran, dan Ning Riyadin Dannis Fatussunnah.
Pada tahun 1986 Gus Miek punya gagasan sema’an Al-Qur’an. Kata beliau: “Saya ingin benar dan tidak terlalu banyak salah. Maka saya ambil langkah silang dengan menganjurkan pada para santri untuk berkumpul sebulan sekali, mengobrol, guyonan santai, diiringi hiburan. Syukur-syukur jika hiburan itu berbau ibadah yang menyentuh rahmat dan nikmat Allah. Kebetulan saya menemukan pakem bahwa pertemuan seperti itu jika dibarengi membaca dan mendengarkan Al-Qur’an, syukur-syukur bisa dari awal sampai khatam, Allah akan memberikan rahmat dan nikmat-Nya.”
Jadi menurut Gus Miek, secara batiniah sema’an Al-Qur’an adalah hiburan yang hasanah, hiburan yang baik. Selain juga merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah, dan sebagai tabungan di hari akhir. Itu yang harus bener-benar diyakini oleh jema’ah sema’an Al-Qur’an. Orang yang mendengarkan dan membaca Al-Qur’an mendapat pahala yang sama.
Gus Miek wafat pada 5 Juni 1993. Beliau dimakamkan di Pemakaman Auliyya’ Tambak Kediri, diiringi ratusan ribu kaum muslimin. Di pemakaman ini pula KH. Anis Ibrahim dari Tulungagung dimakamkan di sebelah barat makam Gus Miek, dan juga KH. Achmad Shidiq dimakamkan di sebelah selatan makam Gus Miek. Di pemakaman ini pula terdapat tidak kurang dari 22 orang yang kebanyakan adalah guru dan juga murid Gus Miek.
“Hidup ini sejak lahir hingga mati, adalah kuliah tanpa bangku”. (Gus Miek)
Katur Gus Miek; Al-Fatihah.
* Ziarah wa tabarukan maqam Gus Miek, Tambak Mojo Kediri; Rabu 8 September 2021.