Setelah pertemuan pertama beliau dengan Gus Miek, Gus Kholis menjadi salah satu peserta “wajib” dalam setiap semaan Jantiko. Gus Miek berpesan kepada beliau, “Sing istiqomah melok semaan.”
Berangkat Ke Jakarta
Pada sebuah kesempatan, Gus Kholis “matur” kepada Gus Miek. Beliau sowan untuk meminta pendapat terkait sosok yang akan beliau lamar sebagai istri. Ternyata, calon istri Gus Kholis tinggal di Jakarta serta puteri dari “muhibbien” Gus Miek pula. Setelah mendengar maksud dan niat dari muridnya, Gus Miek segera berkata, “Wes budalo (berangkatlah), tidak usah berpikir biaya. Nanti kamu saya bawakan surat, lalu serahkan kepada calon mertuamu. Dan, kamu cukup menghafalkan jawaban dari beberapa pertanyaan ini.” Sebuah dawuh yang mungkin saat itu di benak Gus Kholis, menimbulkan banyak tanya.
Gus Miek segera merogoh kantongnya, entah kantong yang mana. Karena sepengetahuan Gus Kholis, tiba-tiba Gus Miek memberi beliau sejumlah uang dan sepucuk surat untuk ke Jakarta. Dengan penuh hormat, Gus Kholis akhirnya menyatakan siap melaksanakan dawuh Gus Miek. Kemudian, Gus Miek berpesan, “Saya pesan kepadamu, kalau berangkat ke Jakarta, ditata niatmu. Satu, niat karena ingin bertemu dan ziarah dengan wali-wali Allah di Jakarta. Kedua, niatkan kelak untuk menghidupkan semaan Jantiko Mantab di ibukota. Dan, yang ketiga, cukup lima persen saja niatkan untuk melamar.” Tiga dawuh ini yang diingat betul oleh Gus Kholis, karena hingga beliau bercerita kepada kami, dapat menggambarkan secara persis redaksi katanya.
Maka, berangkatlah Gus Kholis ke Jakarta dengan menggunakan pesawat. Saat itu, beliau tidak tahu sama sekali, nanti turun di mana, lalu naik apa. Setibanya di bandara, tiba-tiba ada yang seperti memanggil beliau. “Gus!” Suara panggilan pertama tidak beliau hiraukan, karena bisa jadi itu bukan untuknya. “Gus Kholis!” Panggilan kedua inilah yang akhirnya beliau menoleh dan menemui orang yang memanggilnya. Ternyata, beliau adalah “jamaah” Gus Miek yang sudah diberi tugas untuk menjemput dan mengantar Gus Kholis kemanapun beliau mau. Padahal, menurut cerita Gus Kholis, orang ini adalah seorang insinyur. Maka, Gus Kholis menceritakan niat dan tujuannya datang ke Jakarta. Dan, singkat cerita, akhirnya Gus Kholis berhasil mempersunting calon istrinya. Gus Kholis merasa kagum dengan Gus Miek yang menyiapkan seluruh keperluannya dari awal hingga akhir ketika di Jakarta.
Beasiswa
Cerita ini berawal ketika Gus Kholis dan istri mendapat pengumuman dari kampus bahwa mereka berdua mendapatkan beasiswa. Gus Kholis ragu menerimanya, karena takut nanti jika menerima, maka Gus Kholis akan lebih aktif di kampus daripada di semaan Jantiko. Maka, seperti biasa, beliau berangkat menemui Gus Miek untuk meminta pendapat.
Setelah bertemu dan matur, Gus Miek berkata, “Hmmm… Sek (sebentar) nanti saya jawab, tapi kamu ikut saya dulu.” Tanpa berkata mau kemana, Gus Kholis menemani beliau. Dan, anehnya, Gus Miek memilih menaiki sebuah taksi. Taksi kemudian berangkat berputar-putar dari Surabaya, lalu berputar agak lama di daerah Brebek (waktu itu beliau belum tinggal di sana), lalu menuju Juanda, berputar lagi ke Mojokerto, hingga akhirnya sampai di rumah salah satu jamaah beliau di Kediri. Gus Kholis masih belum tahu, apa maksud Gus Miek sama sekali.
Rumah jamaah Gus Miek ini dua lantai. Gus Miek dan Gus Kholis beristirahat di lantai dua. Lalu, Gus Miek dawuh ke Gus Kholis, “Awakmu enteni kene, aku tak metu disek, ojo metu sampek aku teko (kamu tunggu di sini, jangan keluar sampai saya pulang kesini). Gus Kholis semakin resah, karena selain Gus Miek tidak segera menjawab, tapi malah ditinggal pergi. Dan, yang membuat beliau lebih resah, tenggat waktu pengajuan beasiswa hanya satu hari saja. Satu, dua, hari Gus Miek belum juga kembali. Hingga pada hari ketiga, beliau baru datang. Gus Miek ternyata kaget mendapati Gus Kholis masih di Kediri, “Lho, awakmu sek nang kene? (Lho, kamu masih di sini?)” Gus Miek kemudian memberikan Gus Kholis sebuah jam tangan dan beberapa uang. Gus Kholis masih mengingat betul merk jamnya. Dan, inilah akhir dari jawaban Gus Miek, bahwa beasiswanya tidak usah diterima, semua biaya akan diberi beliau.
Kisah yang membuat saya malu, bagaimana “sendiko”(patuh)-nya beliau saat itu. Maka, mungkin pantas jika Gus Miek sangat menyayangi beliau selalu. Bahkan, urusan sepeda motor saja, Gus Kholis pernah disuruh langsung menukar sepeda motornya di dealer jamaah Gus Miek dengan sepeda motor baru. Sungguh, saya baru memahami, betapa Gus Miek adalah sosok yang begitu memperhatikan umat dan individu yang beliau kasihi.
Pada akhirnya, kami berlima diantar dengan mobil beliau. Beliau menunjuk langsung dua santrinya untuk mendampingi dan mengantar ke hotel kembali ke Ampel. Bahkan, Cak Rozi sempat ditawari untuk menginap saja, karena pesantren beliau sudah menyiapkan dua kamar khusus tamu. Sebuah penghormatan total untuk melayani sesama yang beliau pelajari dan peroleh langsung dari sang wali, Gus Miek rahimahullah.
Maka, pesan Cak Rozi ketika kami berada di mobil, layak sebagai sebuah renungan, “Awakmu iku wes nduwe pusoko, sholawat mbek Quran. Ojo iri mbek seng di nduweni wong liyo, ramuten pusokomu!” (Kamu sebenarnya sudah punya pusaka (bekal untuk hidup). Yaitu sholawat dan Quran. Jadi, jangan lernah iri dengan apapun yang dimiliki oleh orang lain. Rawatlah pusakamu!)
Terima kasih Ya Allah, telah menghadirkan dua sosok yang banyak mengajari kami pada hari itu tentang Al-Quran.
Allaahummarhamnaa bil Quran.