Mobil kami meluncur saat itu. Keluar dari salah satu hotel di sekitar komplek makam Sunan Ampel. Di dalam mobil, sesekali kami berlima berkelakar bersama, dan sesekali saling bercanda. Riuh tawa banyak terdengar di sana. Kami sedang mengantar salah satu senior kami yang bekerja di Lajnah Pentashih Al-Quran Jakarta untuk menemui “undangan” dari salah satu alumni senior MQ Tebuireng yang lain. “Ngalap barokah” kata beliau. Bahkan cak Rozi (biasa kami memanggilnya), rela terpisah dari beberapa tim lajnah yang juga “ngalap barokah” di tempat lain, makam K.H. Kholil Bangkalan.
Tak berselang lama, kami sampai di pesantren. Lokasinya agak masuk ke dalam gang. Di daerah Brebek Sidoarjo. Pesantren ini diasuh oleh alumni senior MQ Tebuireng, Gus Kholis namanya. Beliau lebih dikenal dengan julukan Gus Kholis Jantiko. Mungkin karena nama Kholis terlalu banyak ditemui di pesantren MQ tebuireng. Menurut beberapa info, beliau adalah salah satu orang terdekat dan disayangi oleh Gus Miek, pendiri semaan Jantiko Mantab.
Kami disambut Gus Kholis dengan ramah. Wajah beliau teduh. Seteduh hawa pesantren yang memang hanya digunakan untuk mengaji dan menghafal al-Quran itu. “Santrinya di sini berapa, Gus?” tanya kami saat itu. “Mbuh piro (tidak tahu berapa), wong yang nyantri di sini ya kadang masuk dan keluar sendiri,” jawaban ini beliau utarakan sambil tertawa. Kami pun ikut tersenyum mendengarnya.
Kami tiba di ndalem menjelang Magrib. Namun Gus Kholis sama sekali tidak terlihat “gupuh”. Karena, saya tahu, pada beberapa orang, sholat tepat waktu dijadikan “standar wajib” walau sedang menyambut tamu. Beliau berbeda saat itu, “membiarkan” kami dan beliau saling bertukar cerita tentang MQ Tebuireng. Tentang beliau yang ternyata angkatan kedua santri asli KHM Yusuf Masyhar. Satu angkatan dengan KHM Syakir Ridlwan dan K.H. Aziz Surabaya. Tak terasa, mungkin jamaah Magrib, para santri jadi tertunda sekitar 30 menit lamanya. Sebuah pengalaman yang mengajarkan bagi saya, bahwa adab memuliakan tamu, jauh di atas segalanya.
Kami berjamaah Magrib bersama. Beliau menjadi imam. Membaca surat Ar Ra’d di kedua rakaatnya. Lalu melanjutkan zikir sebentar, namun kemudian diserahkan kepada santrinya untuk dilanjutkan. Lalu, beliau meninggalkan mushollanya. Lagi-lagi, saya harus mengakui, beliau benar-benar memuliakan tamunya.
Selepas jamaah Magrib, kami kembali duduk bersama di ndalem beliau. Semua suguhan telah dihidangkan. Santri-santri beliau yang mengantarkan. Ta’dhim dan adabnya terasa sekali, khas pesantren. Adab yang mungkin, jarang ditemui di sekolah formal biasa. Bagaimana tunduk dan patuh kepada guru selama di pesantren.
Cak Rozi mengawali dengan kelakar kepada beliau, “Ini teman-teman tolong diberi amalan gus, supaya teguh kepada al-Quran.” Beliau menimpali, “Saya saja ya mengamalkan yasin dan waqiah seperti kebiasaan di MQ dulu.” Lalu, cerita beliau bergeser, bagaimana bisa membeli rumah tetangga beliau yang sekarang dijadikan musholla.
“Dulu itu, saya mengundang Kiai Thobib (Gebang Surabaya) untuk minta barokah doa ke pesantren ini. Ketika berjalan, Kiai Thobib melihat spanduk rumah dijual. Lalu, beliau berkata, ‘Ini kenapa ga sekalian dibeli saja?’. ‘Ini rumahnya aktivis HT*, Kiai,” jawab Gus Kholis saat itu. “Sudah bacakan surah waqiah saja 14 kali selama 14 hari berturut-turut, insyaAllah bisa terbeli.” Kami yang mendengar kisah ini segera berkata, “Qobiltu, kiai,” sambil tersenyum lega karena mendapat “amalan” dari Gus Kholis.