Ibnu Athaillah As-Sakandari mengatakan jika kita masih merasa kehilangan selain daripada kehilangan Allah, berarti kita masih belum bisa wushul kepada Allah. “Teorine ngene gampang, rek, tapi ngelakonie ternyata, yo, abot,” ungkap Pak Kiai Ta’in sambil mengenang istri beliau yang hari ini tepat 40 hari wafatnya. Teruntuk beliau, ibu Nyai Hj. Khodijah binti Yusuf . Alfatihah.
—
Kajian Tafsir kali ini diawali dari munasabah surat antara QS. An-Nahl, Al-Isra & Al-Kahfi. Pak Kiai Ta’in (K.H. Dr. Ahmad Musta’in Syafi’ie) menjelaskan bahwa QS. An-Nahl adalah surat yang ayat-ayatnya mengandung banyak khazanah ilmiah. Nilai-nilai akademiknya tinggi. Mulai dari ilmu perbintangan, kedokteran sampai dengan koloni lebah. Dan, semuanya berkarakter ayat-ayat intelektual-rasional.
Selanjutnya, QS. Al-Kahfi adalah surat yang mengandung nilai-nilai sufistik-spiritual. Hampir semuanya mengandung nilai-nilai religiusitas yang irrasional, mulai dari kisah Ashabul Kahfi yang tertidur sampai 350 tahun, kisah mesantrenknya Nabi Musa kepada Nabi Khidir yang khoriqul ‘adah (jadab), dan kisah Raja Zulqarnain yang menaklukkan Ya’juj Ma’juj.
Sementara itu, di antara QS. An-Nahl dan QS. Al-Kahfi, ada QS. Al-Isra yang menjadi penyambungnya, tangga naik dari surat An-Nahl yang bernuansa intelektualis (rasional) menuju surat Al-Kahfi yang sangat spiritualis (irrasional). Isi kandungannya lebih banyak membahas tentang Bani Israil sehingga disebut juga surat Bani Israil. Di bagian akhir, disebut sekilas tentang ayat-ayat yang irrasional, yaitu tentang ruh.
و يسئلونك عن الروح قل الروح من أمر ربي و ما أوتيتم من العلم إلا قليلا الإسراء: ٨٥
Dan, tidaklah Aku (Allah) memberimu ilmu tentang ruh kecuali hanya sedikit (ay ‘anir ruh). Ada pendapat lain, (illa qolila: ay minkum). Yang sedikit itu bukan ilmu tentang ruhnya, tetapi orang yang mengetahui ilmu tentang ruh ini. Ulama-ulama Ahli Falak adalah sebagian dari orang-orang yang mengetahui ilmu tentang ruh, termasuk kapan ajalnya sendiri tiba. Wallahu a’lam.
—
Dalam surat Al-Kahfi, kita diajarkan untuk tidak terlalu mengandalkan akal, karena akal kita sangat-sangat terbatas. Nabi Musa saja yang terkenal kecerdasannya dan pernah “menyombongkan” diri langsung ditegur Allah agar jangan mengukur segalanya hanya dengan akal. Akhirnya, Nabi Musa pun berguru kepada Nabi Khidir yg mengajarkan hal-hal yang justru irrasional alias tidak masuk akal. “Mangkane semakin doktor seseorang, biasae semakin rendah sensifitas spiritualnya,” jelas Pak Kiai Ta’in.
Alhasil, dari serangkaian “short course” yang dijalani Nabi Musa kepada Nabi Khidir, Nabi Musa dinyatakan TIDAK LULUS secara formal. Namun, tidak secara esensial. Nabi Musa tetap mendapat ilmu dan hikmah dari pelajaran hidup yang diajarkan oleh Nabi Khidir.
“Luweh penting endi oleh ijazah opo oleh ilmu?” tanya Pak Kiai Ta’in.
Kami hanya manggut-manggut, menyimak.
“Seng luweh penting iku ilmu, rek. Rungokno, yo…. terutama seng wes dadi-dadi guru iki. Ngajar iku niruo koyok Nabi Khidir, mari ngajar dikeki penjelasan. Ojo koyok ngajar DARING model saiki. Dikeki tugas terus, tapi gak pernah dibahas,” lanjut Pak Kiai Ta’in, lagi.
Kami pun tertawa berjamaah dan mau gak mau juga harus mengakuinya.
Inti pelajaran yang disampaikan oleh Nabi Khidir adalah sesuatu yang futuristik. Hal-hal tentang masa depan. Dan, ini yang tidak bisa dijangkau hanya oleh akal, melainkan harus menggunakan intuisi Ilahiyah. Berikut penjelasan QS. Al-Kahfi: 79-82:
Merusak Kapal
أَمَّا ٱلسَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَٰكِينَ يَعْمَلُونَ فِى ٱلْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu.
Mengapa kapal yang ditumpangi Nabi Musa dan penumpang lainnya dirusak oleh Nabi Khidir? Jawabannya adalah “wa kana waroahum malik ya’khudzu kulla safinah ghoshba”, agar kapal tersebut tidak dirampas oleh seorang Raja perompak yang dzolim, karena yang dirampas adalah safinah as-sholihah, kapal-kapal yang bagus saja.
Lanjut Pak Kiai Ta’in, “Kapal ini adalah milik “al-masakin”, orang-orang miskin. Menurut as-Syafi’i, fakir dan miskin itu berbeda. Dalam ayat ini, ada “dalalah al-hukm” bahwa orang miskin itu masih memiliki aset, buktinya kapal ini, walaupun mungkin kapal ini hasil iuran orang-orang miskin itu. “Pertama orang miskin bisa jadi memiliki aset, tapi asetnya tidak banyak. Yang kedua, orang miskin itu masih memiliki pekerjaan “ya’maluna fil bahr”, walaupun belum mencukupi kebutuhannya. Lek dadi guru, ya’maluna fil kelas, iku termasuk al-masakin ta duduk, rek?” Gojlok Pak Kiai Ta’in yang disambut gelak tawa kami semua.
Sebaliknya yang disebut kaya itu ada 2 juga, “ghoni bil mal” dan “ghoni bil kasab”. “Ghoni bi mal” berarti sogeh bondo, asetnya banyak, walaupun mungkin gak punya pekerjaan. Yang kedua “ghoni bil kasab”, sogeh kerjo, banyak pekerjaannya tapi tidak tentu banyak hartanya.
“Faarodtu an a’ibaha”, maka aku yg merusaknya. Perhatikan kata-kata Nabi Khidir ini. Betapa beliau menjunjung tinggi etika, ketika ada sesuatu yang buruk. Itu dilimpakan kepada dirinya.
“Ngene iki seng angel rek. Wali gede iku justru seneng diclatu, gak seneng dipuji, gak seneng viral/masyhur. Justru wali gede iku biasane mastur (tersembunyi) koyok ngene iki. Dan, biasane, di balik wong-wong seng masyhur, ono wong-wong seng mastur,” tegas Pak Kiai Ta’in.
“Ini pula yang kemudian menjadi dasar istidlal fuqoha’ untuk memutuskan hukum ketika dihadapkan pada dua bahaya, sehingga kaidahnya “akhoffu ad-dhororoin”, mana yang lebih ringan bahayanya, maka itulah yang dipilih,” tambah Pak Kiai Ta’in.
Membunuh Anak Kecil
وَاَمَّا الْغُلٰمُ فَكَانَ اَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِيْنَآ اَنْ يُّرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَّكُفْرًا ۚ
Dan, adapun anak muda (kafir) itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran.
فَاَرَدْنَآ اَنْ يُّبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكٰوةً وَّاَقْرَبَ رُحْمًا
Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).
Mengapa anak kecil itu dibunuh oleh Nabi Khidir? Jawabannya adalah “fakhosyina an yurhiqohuma tughyanan wa kufro”; dikhawatirkan anak itu kelak ketika dewasa menjadi kafir dan membuat orang tuanya kafir pula. Tentu, ini atas pengetahuan Allah, bukan atas pengetahuan Nabi Khidir sendiri, sehingga dhomirnya adalah “khosyina ay nahnu” (Kami).
“Awakdewe sebagai wong tuwo ora iso njamin anak-anak e awak dewe mene dadi opo. Soale, akeh anak seng gak ngerti karepe wong tuwo. Tapi, seng pasti, lek ono anak nakal, pasti wong tuwone kurang istighfar, kurang cidek neng pengeran. Lek wong tuwone betul-betul mukmin koyok ayat iki, “fakana abawahu mu’minaini”, insya Allah anak-anak awak dewe bakale diselametno Gusti Allah.”
“Faarodna an yubdilahuma khoiron minhu”; maka, Kami berkehendak agar Tuhan mereka menggantinya lebih baik. Perhatikan ayat ini. Kalau sebelumnya Nabi Khidir mengatasnamakan dirinya sendiri ketika merusak kapal, maka dalam urusan ini Nabi Khidir tidak sendiri. Ada Allah sebagai “back up”nya, karena urusan nyawa adalah urusan besar dan bisa dianggap kriminal kalau sampai menghilangkan nyawa. “Di balik kehilangan besar, harus ada kompensasi yang besar juga,” tandas Pak Kiai Ta’in.
Memperbaiki Rumah Yang Hampir Roboh
وَاَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلٰمَيْنِ يَتِيْمَيْنِ فِى الْمَدِيْنَةِ وَكَانَ تَحْتَهٗ كَنْزٌ لَّهُمَا وَكَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا ۚفَاَرَادَ رَبُّكَ اَنْ يَّبْلُغَآ اَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَۚ وَمَا فَعَلْتُهٗ عَنْ اَمْرِيْۗ ذٰلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَّلَيْهِ صَبْرًاۗ ࣖ
Dan, adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.
Mengapa dinding rumah yang hampir roboh itu diperbaiki oleh Nabi Khidir? Padahal, orang-orang di kampung itu tidak ada yg membantunya? Jawabannya adalah “wa kana tahtahu kanzun lahuma wa kana abuhuma sholiha”, karena di bawah rumah itu ada harta anak yatim. Jika rumahnya tetap berdiri kokoh, niscaya anak yatim itu bisa mengambil haknya itu kelak ketika mereka dewasa.
“Fa aroda robbuka an yablugho asyuddahuma wa yastakhrija kanzahuma”; maka Tuhanmu menghendaki agar anak yatim itu sampai usia dewasa dan mengeluarkan harta tersebut untuk mereka. Perhatikan ayat ini. Jika di awal tadi Nabi Khidir mengatasnamakan dirinya sendiri ketika berbuat kerusakan, lalu mengatasnamakan dirinya dan Allah untuk hal-hal yang besar seperti urusan nyawa, lalu di sini Nabi Khidir langsung mengatasnamakan Allah untuk menunjukkan rahmat-Nya yang luas tak terbatas.
Jika sebelumnya, barokahnya orang tua yang “mu’minain”, maka jiwanya diselamatkan Allah dari ujian anak yang nakal dan kafir. Sedangkan sekarang, barokahnya orang tua yang sholih, anaknya bisa mendapatkan manfaat dan warisan harta, “rahmatan min robbik”, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Betapa besar pengaruh orang tua yang sholih bagi anaknya, begitu pula pengaruh guru yang sholih bagi siswanya.
—
Dan demikian ini dilakukan Nabi Khidir bukan atas kehendaknya sendiri, “wa ma fa’altuhu ‘an amri”, melainkan atas petunjuk dan bimbingan Allah.
“Kunci dari pengetahuan seperti ini bukan dengan akal, tetapi dengan hati. Cara melatihnya adalah dengan banyak-banyak bersujud, posisi di mana wajah dan kepala kita di bawah, lebih rendah daripada pantat kita sendiri. Semua hanya untuk menurunkan ego dan nafsu kita di hadapan Allah,” jelas Pak Kiai Ta’in.
“Makanya, orang-orang yang ahli sujud itu disifati “simahum fi wujuhihim min atsar as-sujud”; ada bekas sujud di wajahnya. Ada “glowing” spiritual di wajahnya. Sehingga membuat orang tersebut memiliki wibawa yang membahagiakan. Ingat, ayatnya bukan “fi jibahihim”, tapi “fi wujuhihim”, bekas sujud itu bukan di dahi, tapi di wajah. Lek di dahi, seng ireng-ireng iku, berarti pancen sajadah seng elek, rek.” Simpul Pak Kiai Ta’in.
Hahaha….
Semoga bermanfaat.