Saya kadang menulis: “Bahwa rizki yang hakiki itu bukan hanya duit dan harta, tapi kesehatan jasmani dan ruhani, kesempatan dan kehangatan keluarga, sahabat sahabat yang baik, pergaulan yang baik dengan siapa saja. Rizki juga bisa berupa kesempatan yang luas yang bisa dimanfaatkan dengan baik, itu sejatinya rizki. Rizki juga bisa berupa waktu dan kemampuan kita untuk terus berdoa dan bisa bermunajat pada Yang Maha Kuasa. Kalau doa doa kita dikabulkan oleh Nya, kita bersyukur. Kalaulah belum dikabulkan kita juga tetap bersyukur, karena masih bisa doa itu sendiri sudah merupakan rizki. Karena nyatanya ada orang, untuk berdoa saja tidak sempat atau tidak kuat, atau tidak mau berdoa. Ini sering saya tulis untuk diri saya sendiri.
Punya duit dan penghasilan besar, tidak akan banyak artinya bila kesehatan jasmani dan ruhani buruk, keluarga tidak harmonis, pergaulan antar sesama tidak baik.”…ini sering saya tulis dan saya mantrakan setiap hari, sebagai prinsip hidup….” Saya ulang berkali kali, saya hafal dalam hati, saya amalkan dalam kehidupan sehari hari.
Rizki juga bisa berupa adanya perasaan sabar dan tabah serta syukur dalam hati, atas apapun yang menimpa kita, mau hal baik atau hal buruk. Bila ditimpa bahagia kita bisa bersukur, itu rizki. Bila ada hal buruk menimpa, kita bisa sabar dan tabah, itu juga rizki. Ini saya hafal dan saya yakini sejak lama.
Tapi hari ini, habis ngobrol dengan beberapa teman, yang kerjaannya sama persis dengan saya, tapi penghasilannya jauh berbeda. Saya sampai malam tidak bisa tidur. Pagi pagi habis shalat subuh pun tetap hati tidak tenang. Rupa rupanya, saya iri dengan teman saya yang dengan kerjaan sama tapi penghasilannya jauh di atas saya. Saya kurang terima dengan keadaan saya sekarang. Saya mencoba meyakinkan di hati apa yang saya tulis di atas, agar saya tidak iri. Tapi, tetap saja rasa iri dan ingin seperti teman saya itu ada.
Saya malas jalan pagi seperti biasanya. Saya dari semalam sibuk cari tahu kenapa saya tidak bisa seperti dia. Saya berusaha menenangkan diri, agar hati dan perasaan saya tidak berkata seperti itu, agar saya tidak iri. Tapi, tetap saja…susah sekali…padahal saya tiap hari melafalkan, menghafalkan dan berusaha meyakini bahwa rizki itu bukan hanya duit, tapi juga kesehatan, kesempatan, dan kehangatan keluarga. Tiap hari saya katakan dalam hati saya, bahwa mari syukuri apa yang ada, jangan sibuk pada yang belum ada. Tapi, kenapa kali ini perasaan syukur itu kalah dengan perasaan iri?
Ada saran agar perasaan iri itu hilang?