Jangan membeda-bedakan thariqah, itu benar, karena satu thariqah tidak terlepas dari karakter dan watak yang tepat bagi seseorang. Seorang mursyid yang Al Arif Billah bila ia tidak berkenan menerima baiat seorang murid, ia akan berkata, “Sebaiknya kamu berbaiat pada kiai itu, kiai ini.”
ما من نفس تبديه الاّ وله قدر فيك يمضيه
Tiada satu nafaspun yang keluar dari diri manusia melainkan berasal dari pemberian Allah SWT bukan dari manusia itu sendiri. Dan dari tiap-tiap nafas yang mengalir tersebut terdapat takdir/kepastian Allah terhadap diri kita, adakalanya berupa keta’atan, maksiat, nikmat atau ujian.
Ulama Al Arif Billah berujar;
الطرق الى الله بعدد أنفاس الخلق
Jalan kepada Allah sebanyak hitungan nafas paramakhluk.
Menurut Sayyid Syekh Zainuddîn Al Malîbârî dalam kitab Hidâyah Al Ażkiyâ’ ilâ Ṭarîq Al Awliyâ’, 1303: 11; sebagaimana dilansir dari baca.nuralwala.id; setiap muslim memiliki jalan tersendiri dalam menuju Allah SWT; yang dengan jalan itu dia sampai kepada-Nya seperti: mendidik umat manusia, memperbanyak wirid (baik sholat maupun puasa), mengabdi (khidmah) kepada umat, dan sedekah (seperti mengumpulkan kayu bakar untuk dijual dan hasilnya disedekahkan) dan sebagainya.
Lalu, bagaimana memilih seorang mursyid yang dimaksud “Kamil Mukammil” itu? Secara lahir, seorang mursyid itu tidak perlu tenar atau masyhur. Bisa saja ia orang biasa. Namun, akan lebih mudah “ditengeri” seperti sedang memilih seorang imam sholat. Pertama, paling fasih dan banyak hafal ayat-ayat Al Quran, kemudian paling alim ilmu fiqhnya.
Sabda Rasulullah SAW;
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَائَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَ فِي رِوَايَةٍ: سِنًّا، وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ. [رواه مسلم]
Artinya: Rasulullah SAW bersabda, “Yang mengimami suatu kaum (jamaah) itu hendaklah yang paling baik bacaan kitab Allah (Al Quran) nya. Jika di antara mereka itu sama, maka hendaklah yang paling tahu tentang sunnah, dan apabila di antara mereka sama pengetahuannya tentang as-Sunnah, hendaklah yang paling dahulu berhijrah, dan apabila di antara mereka sama dalam berhijrah, hendaklah yang paling dahulu memeluk Islam’. Dalam riwayat lain disebutkan: “Yang paling tua usianya. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya.” (HR. Muslim).
Yang utama dari seorang mursyid adalah memiliki sanad dan silsilah guru thariqahnya. Adapun berkenaan dengan hal-hal batin tidak bisa diukur, karena itu “fadlol” yang diberikan Allah SWT dari atsar yang membekas dari istiqamah.
Demikian, begitu penting untuk berziarah ke maqbarah Imam Al Syadzili bagi Mbah Maemun Zubair, meskipun harus menempuh jarak yang sangat jauh. Pada kisah selanjutnya.
Karena benar-benar ingin berkhidmat kepada Mbah Maemun, Kiai Fadlolan menguatkan hatinya dan berkata, “Sendiko dawuh, njih, siap, kiai.” Ia membungkukkan badannya meskipun masih digelayuti pikiran dan perasaan tidak mungkin. Kiai Fadlolan kemudian menelepon sahabatnya (orang Mesir) yang siap menjemput di bandara Luxor.
“Ya ‘Ammi, Fauzi, hal mumkin ziarah ila Al Imam Al Syadzili?”
Fauzi yang orang Mesir itupun menjawab, “Mus mumkin, tidak mungkin!”
Tapi, Kiai Fadlolan bersikeras dan coba meyakinkan berulang kali.
Namun, Fauzi tetap menjawab tidak mungkin, karena sudah hafal ukuran kilometer perjalanan yang mesti nginap atau kalau langsung balik mesti ketinggalan pesawat dan nginap di Luxor!
“Kita coba, jika bisa PP, ya Alhamdulillah, bila tidak bisa, ya kita nginap di Luxor dan tiket pesawat kita hangus,” ujar Kiai Fadlolan, membuat keputusan.
Fauzi pun menyetujui pada pilihan Kiai Fadlolan.
Sesampai di bandara Luxor pada pukul 08.00 . Kiai Fadlolan dan Mbah Maemun Zubair sarapan dan minum hangat, sembari menunggu pintu gerbang Ma’bad Luxor atau “Luxor Temple”, sebuah kuil tempat Firaun beribadah, yang baru dibuka pada pukul 08.30.
Mbah Maemun sangat mengagumi bangunan peninggalan Firaun sambil memotivasi Kiai Fadlolan agar supaya menyenangi sejarah dan peradaban. Di bidang sejarah dan budaya ini, menurut Kiai Fadlolan, bisa dibilang Mbah Maemun adalah pakarnya. “Saking senangnya, beliau melalui dua lokasi Ma’bad Luxor sambil bercerita ayat-ayat Kauniyah yang dihubungkan dengan ayat-ayat Al Quran, sambil foto-foto yang saya abadikan,” kenang Kiai Fadlolan.
Foto Mbah Maemun bersama Habib Thohir Cirebon dalam suatu acara.
Karena gelisah sudah pukul 10.30, Kiai Fadlolan malah sering mengingatkan Mbah Maemun, “Jadi ke makam Imam Syadzili, Mbah Yai?” tanya Kiai Fadlolan, meminta keyakinan.
Mbah Maemun menjawab dengan singkat, “Hiya, Jadi….”
Namun, saking asyiknya, Mbah Maemun justru terlihat tidak seperti sedang capek.
Sekali lagi, Kiai Fadlolan mengingatkan dan Mbah Maemun menyahut, “Njih, monggo berangkat ke Imam Syadzili.”
Tepat pukul 11.00, mereka naik mobil sedan Daewoo yang sering dirental bersama sopirnya oleh Kiai Fadlolan, lalu meluncur cepat menuju Edfo yang terentang jarak 100 kilometer padang pasir dari Luxor. Di padang pasir itu sama sekali tidak ada fasilitas kehidupan.
Tiba di Edfo pukul 13.30, mereka pun shalat jamak taqdim, lalu makan siang di warung samping mushalla. Di sinilah, kekeramatan Mbah Maimoen mulai dimunculkan. Ibu pemilik warung makan itu tiba-tiba keluar, membawa air di dalam botol besar, seraya berkata, “Ya Syekh, ud’u li zauji, wa hua maridh.” Ya Syekh, tolong doakan suami saya, ia sedang sakit.
Mbah Maemun langsung menerima botol wanita pemilik warung itu dan mendoakan seperti biasa kalau ada tetamu di ndalem Sarang. Kemudian, Mbah Maemun bertanya, “Aina zajak?” Di mana suamimu?
Mbah Maemun lalu diajak ke sebuah kamar. Ia menyuwuk dan mengurasi air yang di botol ke bagian tubuh seorang lelaki yang tergeletak di ranjang.
Ketika hendak berpamitan dan membayar makanan dan minuman di warung, wanita pemilik warung menolak. Demi menjaga kewiraiannya, Mbah Maemun Zubair tetap bersikeras membayarnya.
Mereka meninggalkan warung pukul 14.30 menuju Humaisarah yang berjarak sekitar 300 kilometer. Tiba pukul 17.00, mengambil wudlu, dan ziarah. Mbah Maimoen membaca Hizb Nashor, tahlil singkat dan berdoa.
Tepat pukul 17.45 matahari pun gelap. Mereka segera beranjak, meneruskan perjalanan kembali ke Luxor. Kekeramatan Syaikhona Mbah Maemun Zubair tidak bisa ditutup-tutupi lagi, semakin jelas.
Mbah Maemun duduk bersila, wiridan, di jok belakang bersama ibu Nyai Heni Maryam. Sementara Kiai Fadlolan berada di jok samping sopir.
Kiai Fadlolan melihat jam. Seharusnya mereka sudah tiba di bandara Luxoor pukul 18.30, Kiai Fadlolan tampak berdoa agar kebagian pesawat.
‘Aami Fauzi sang sopir tampak bersemangat, ia lupa kalau mobilnya itu sedan Daewoo tua. “Kok, diajak lari 150 sampai 160/km?” kenang Kiai Fadlolan, lagi. “Saya merasa ban mobil itu sudah tidak menempel aspal. Ditambah jalannya pun tidak begitu baik. Tapi, saya yakin yang saya bawa itu seorang waliyullah, Syaikhona KH. Maemun Zubair, semakin kencang wiridan semakin cepat….”
Selama perjalanan itu, Kiai Fadlolan hanya dibekali istrinya cemilan ringan dan lemper buatan malam hari, yang dengan panas matahari sampai sore harinya sudah tidak sehat lagi. Tapi, Mbah Maimoen sangat arif dan mendidik untuk qanaah (neriman). “Ayu mas Fadlolan, kita makan lemper buatan neng Fenti, …itu enak ya…, pinter masak, ya, istri mas Fadlolan?” ujarnya. Padahal, Mbah Maemun tahu kalau istri Kiai Fadlolan tidak pintar masak.
Kiai Fadlolan merasa harus cepat menyiapkan makan malam. Perkiraannya, Mbah Maemun pasti butuh kamar kecil untuk bersuci serta menjamak shalat Maghrib dan Isya. Kiai Fadlolan menelepon hotel dekat airport yang bisa menyiapkan keperluan-keperluan tersebut.
Tak terbayangkan oleh Kiai Fadlolan, jarak tempuh perjalanan 400 kilometer benar-benar terlipat waktunya hanya 2,5 jam, padahal biasanya bisa memakan waktu tempuh antara 7 sampai 9 jam. Pengalaman yang luar biasa!
Tepat pukul 19.00, mereka tiba di Luxor dan menuju restoran hotel. Mereka makan malam, menu seafood, dengan cepat. Mbah Maemun memberi uang 300 pound Mesir. Menurut standar umum, makan berempat sudah cukup dengan uang segitu. Ternyata, harga totalan dari kasir harganya melonjak menjadi 750 pound Mesir.
Mbah Maimoen Zubair melihat kalau Kiai Fadlolan mengeluarkan uang banyak. “Mas Fadlolan, kok, nambah banyak?” tanyanya.
“Tidak nambah, Mbah,” jawab Kiai Fadlolan, menutup-nutupi.
“Lho, saya lihat nambah, kok?” lanjut, Mbah Maemun seperti tak senang.
Karena orang Arab Mesir biasa menghitung uang dengan diangkat di depan mata, maka wajar terlihat jumlah tambahannya lebih banyak dari jauh.
Mbah Maemun terus mendesak dengan pertanyaan, “Berapa itu tadi, mas?”
Karena kikuk, Kiai Fadlolan pun menjawab, “750 pound Mbah.”
Karena saking tidak ridlanya dengan harga yang dinaikkan terlalu mahal itu, terucap kata-kata pedas, “Laisa minna.” Bukan orang kita!
“Masyaallah,” nyata Kiai Fadlolan ketika keluar dari restoran itu. Tidak lama, malam itu, restoran terbakar dan tidak bisa dipadamkan bersama hotelnya.
‘Aam Fauzi sang sopir menelepon dengan nada suara tinggi. “Masyaallah, kalam Syekkh Maemun khathir, kalamuhu doa!” Ucapan Syekh Maemun bahaya, kata-katanya itu doa. “Al-funduk alladzi na’kul fihi mahruq lam yathfihi” Hotel tempat kita makan tadi terbakar, tidak bisa dipadamkan!”
Sebelum makan di restoran, Kiai Fadlolan menelepon seorang kawan inteligen wilayah Luxor untuk menunda pesawat terbang yang akan berangkat dengan alasan sedang membawa seorang ulama besar dari Indonesia, Syekh Maemun Zubair. Telat sekitar 30 sampai 45 menit. “Alhamdulillah, pesawat didelay 30 menit. Perjalanan terlipat jauh lebih cepat, kami masuk airport tidak usah ‘check in’, langsung disambut kawan-kawan mabahist dauli (inteligen negara Mesir), langsung dikasih ‘boarding pass’ dan masuk pesawat tanpa urusan,” kenang Kiai Fadlolan, lagi.
Begitu masuk dalam pesawat, pintu langsung ditutup dan terbang. Orang Mesir dan turis lain yang tertahan 30 menit di dalam pesawat, begitu melihat orang Indonesia yang menyebabkan mereka terlambat, pada nyeletuk, “Ya Andunisi!” Wahai orang Indonesia!
Karena terlalu capek, Kiai Fadlolan menjadi ngantuk. Tapi, Mbah Maemun masih memegangi tangan Kiai Fadlolan sepanjang perjalanan.
Mbah Maemun sering meliling wajah Kiai Fadlolan seraya berkata, “Mas Fadlolan tadi naik apa?
Kiai Fadlolan menjawab, “Naik Buraq, Mbah.”
Mbah Maemun kembali menjawab, “Hiya betul-betul-betul…, mas Fadlolan.”
Sesampai di Cairo, Kiai Fadlolan mengantar istirahat Mbah Maemun di hotel. Pagi harinya, ia membawakan Koran. Terdapat foto berita hotel, tempat kami makan malam, terbakar tidak bisa dipadamkan.
Kiai Fadlolan mencuri pandang wajah Mbah Maemun, tampak airmata mengalir di pipinya, menangis tanda menyesali ucapannya yang menjadi doa kesedihan bagi orang lain. “Perjalanan itu tidak pernah bisa saya ulang seumur hidup,” ratap Kiai Fadlolan.
Mbah Maemun sering menyampaikan cerita ini pada tetamu yang sowan di ndalem Sarang, dan banyak pengajian ketika Kiai Fadlolan masih tinggal di Cairo. Sehingga banyak orang yang tahu. Ketika ada yang berkenalan setelah Kiai Fadlolan pulang, tiba-tiba berkata, “Oh ini yang namanya Fadlolan, yang sering diceritakan Syekh Maemun Zubair itu?”
“Engkaulah guru mursyidku dan orang tuaku yang makrifat, mengetahui banyak hal yang sedang dan terencana akan saya laksanakan. Terkadang saya sendiri tidak tahu, dan engkau memberikan isyarat lewat mimpi maupun lewat utusan santri yang selalu membawa pesan dan amanat langsung, datang menghampiri kediamanku. Dari sinilah, beliau selalu membekali ijazah doa-doa untuk bekal berjuang di Indonesia.
Semoga Syekhona Maemun Zubair, ditempatkan disisi Allah SWT, di sorga Firdaus, dan selalu memberkahi kita, sekalipun semayam di Ma’la Makkah Al Mukarramah, pada hari ini pukul 04,00 waktu Makkah, Selasa, 6 Agustus 2019/5 Dzul Hijjah 1440 H, tapi selalu berama dengan kami. Fatihahku selalu mengiringimu ya Syaikhona Maemun Zubair,” pungkas Kiai Fadlolan.
(Selesai).
Cirebon, 26 Maret 2022.