Apa kamu temannya, apa? Gitu lho? Atau, selama ini menyebut misalkan;
لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al Anbiya ayat 87).
Kamu berani-berani menjadikan Allah pihak kedua, orang kedua, kan? Ya, Anta, kan? Mukhattab yang kita ajak bicara. Siapa sih Anda? Siapa sih kamu? Kok, bisa berani-berani berhadapan, wis kaya-kaya sejajar dengan Tuhan, gitu lho? Oleh karena itu, ketika kita zikir Ya Huwa, di sini mengandung rahasia yang sangat dalam sekali. Ya Huwa itu artinya ketika kita menyebut Hu Hu Hu artinya “saya lemah”, “saya hina”, “saya ini dlaif”, “äku ini makhluk yang dlaif, yang lemah, yang hina dina”, hanya Dia yang Maha Kuasa. Dia, lho ya? Nggak usah nyebut Allah! Nggak berani kita menyebut Allah. Nggak berani menyebut Engkau, nggak berani.
Kemudian, kita tingkatkan lagi; kalau hina dina itu masih ada, ya? Kalau rendah itu masih ada. Kita tingkatkan lagi, “saya ini sebenarnya tidak ada”. Saya ini sebenarnya, ya tidak ada. Tidak ada itu ádam. Nihil, gitu lho. Yang ada hanya Dia. Maka, kita sebut, kita ucapkan, “Ya Huwa”, Ya Hu Hu itu. Jadi, hanya Dia yang Ada. Yang kita panggil. Dalam Al-Quran disebutkan:
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَۘ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهٗ ۗ لَهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ࣖ
Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan. (QS Al Qasas Ayat 88).
Semua yang ada ini hancur, rusak, “halik”, tidak ada sebenarnya “ïlla wajhah”, kecuali Zat Allah. Nah, ini, barangsiapa yang selalu zikir Hu Hu Hu dengan “mustaghriq”, dengan seluruh kekuatan yang ada, maka sudah bisa “Dzikr Al Dzat”. Dzikr Al Dzat Allah yang kita sebut, bukan lagi sifatNya, bukan lagi namaNya. Ya ini, ini sudah, saya sendiri ngomong bisa, tapi belum merasakan, belum merasakan.
Yang penting lagi, Yang penting lagi, ya? Perjalanan. Safar, sahar, hajar ini. Ini harus dengan niat “tawajuh ilallah”. Harus niat dengan betul-betul menuju kepada Allah. Bepergian, ya memang kita harus menampilkan, harus mengkongkritkan, pergi betul. Tapi, yang sebenarnya, yang pergi adalah jiwa kita. Hati kita. Pergi kepada Allah. Yang kita cari Allah. Itu maknanya, maknanya safar itu di situ, pergi itu sebenarnya pergi ruhani. Tapi, semua orang sufi itu mempraktikkannya dengan si sufi itu dengan pergi. Nggak bisa itu kalau nggak pergi itu. Yang sudah-sudah, entah kalau ibu-bapak di sini tetap di pondok indah hatinya pergi ke mana-mana, ya entah? Tapi, kalau yang sudah-sudah itu, walaupun sebentar. Artinya Imam Al Ghazali dua tahun, pulang kembali ke kampungnya. Ada yang tidak kembali sampai wafatnya di perantauan. Itu yang kebanyakan. Tapi, Imam Al Ghazali, nggak. Dua tahun kemudian kembali ke kampungnya, Thus.
Sahar, melek malam. Melek malam. Ini kalau sudah dilatih betul, kalau sudah sebulan saja selalu bangun malam, lama kelamaan, yang namanya tidur malam tidak bisa. Yang namanya tidur di waktu malam, itu nggak bisa. Mata itu tak terpejam pada waktu malam. Paling ngantuknya jam 11 ginilah sampai jam satu. Jam satu! Malam itu nggak bisa tidur kalau sudah betul-betul menjadi kehidupannya. Tapi, jangan melek malam, makan terus. Ini hajar, harus dikosongkan perutnya. Ya kalau melek malam, makan terus? Ya, ya melekan dan makanan jadinya. Jadi, melek dalam arti menunggu pancaran, menunggu ilham, menunggu rahmat, menunggu apa yang datang. Harus melek! Jadi, yang paling hebat itu betul-betul sadar kemudian dapat wangsit, itu yang hebat! Bukan mimpi. Kalau mimpi itu masih, masih belum. Kalau orang bilang, “Wah, saya tadi malam mimpi.” Wah, masih rendah, masih rendah sekali itu. Yang aneh itu, melek gitu lho!
Tapi, biasanya antara melek dan tidur, jadi antara sadar dan tidak gitu, lho? Tapi, melek, ya? Jangan tidur yang paling bagus. Ini banyak sekali parawali, yang melakukan ini, jumpa beberapa ahwal, beberapa kondisi spiritual yang temporal, kadang fana, kadang jadzab. Jadzab itu tersedot, jadzab. Kadang merasa ghaibah, merasa tidak ada. Kadang sakhr, mabuk, seperti mabuk minuman betul gitu, lho? Mabuk betul, panas rasanya, mabuk betul. Kadang sampai fana. Fana itu sampai lebur betul. Sampai sudah tidak sadar, bahkan “fana án Al fana”. Tidak sadar bahwa dirinya tidak sadar. Kalau masih sadar berarti belum fana betulan. Tidak sadar bahwa dirinya itu tidak sadar, fana án al fana. Tapi, jangan terus-terusan. Orang gila nanti.
Ya, jadi berapa menit? 30 menit atau satu jam. Ini yang dialami oleh beberapa sufi ketika safar, sahar, dan hajar; kadang ghaibah, hilang. Lap, lelap apa namanya? Hilang kesadarannya sebentar. Kadang, jadzab, merasa tertarik, bahkan dirinya keluar gitu lho. Keluar dari, jiwanya, ruhnya, keluar dari jasad. Bahkan bisa berhadapan. Ada nggak yang pernah ngalami di sini? Ada nggak yang sudah ngalami itu? Jadi, keluar, kadang.
Kadang juga sampai kepada talwin. Apa? Apa talwin itu? Talwin itu, diri kita kalau keluar, ruh kita kalau keluar, kadang berupa ibu kita. Kadang, seakan-akan guru kita, kadang nabi Khidir, kadang sampai Rasulullah. Nah, itu. Sudah luar biasa. Jadi, ketika ini, tapi betul, betul, harus dilakukan dengan ikhlas lho, ya? Ikhlas betul, harus lillahi taála. Bukan mencari itu, itu tidak dicari sebenarnya. Tapi, itu akan terjadi biasanya. Tapi, bukan itu targetnya. Nanti, begitu jumpa dengan orang yang sorbannya hjiau diceritakan: tadi malam, melihat orang bersorban hijau, itu polisi. Ha, polisi itu. Di Masjidil Haram, sorbannya hijau, polisi sorbannya hijau. “Ha, tadi malam, saya melihat orang bersorban hijau di samping saya.” Itu polisi, mas. Polisi Masjid Al Haram kan bersorban hijau? Bukan Nabi Khidir, bukan apa? Ini harus lillahi Taála betul.
Kemudian, kadang juga. Nah, ini kadang juga di sini terjadi “Thawiy Al Ardl wa Al Waqt”, “Thawiy Al Makan wa Al Zaman”. Apa? Kita tidak sadar berada di mana? Kita nggak sadar di hari apa? Jam berapa? Kita? Bukan kita. Bukan kita. Orang sufi! Kalau kita belum. Orang sufi kadang, kalau sudah, dalam melakukan ini, betul-betul bisa mengetahui bahwa bumi ini tujuh lapis. Kadang turun ke bumi yang kedua. Kadang masuk ke bumi yang ketiga. Kadang terus ke bumi yang keempat. Sampai ke bumi yang ketujuh. Ada juga, sekarang kan siang, nih? Tapi, dia bisa merasa kalau ini malam. Dia bisa melihat kalau ini? Ini hari apa? Sabtu, ya? Bisa merasa hari ini bukan Sabtulah, walhasil, zaman, ruang, ruang dan tempat itu nggak-nggak ada. Nggak membatasi dirinya. Ini yang sudah pernah melakukan beberapa orang antara lain, kiai di Lamongan. Aduh, kiai siapa namanya? Lupa namanya. Ah, lupa namanya. Dia, mah, agak di kota. Nggak jauh-jauh dari alun-alun. Ini beliau biasa ini, kalau beliau mencari ilham atau mencari ilmu dari Allah itu; dia sudah melihat bumi yang kedua, ketiga, keempat, hanya yang ketujuh masih dirahasiakan. Kalau di bumi terjadi lapis-lapis terjadi sesuatu, begitu juga di atas bumi yang fana ini. Berpengaruh juga. Bapak-bapak juga. Saya tahu, bapak-bapak yang pernah ke sana. Lupa namanya. Dekat alun-alun dikit aja, kok? Kiai di Lamongan itu.
Jadi, itulah barangkali tarekat Al Syadziliyah dalam memperbanyak mendekatkan diri kepada Allah, dengan memperbanyak melakukan safar, sahar, dan hajar, kemudian memperbanyak zikir. Zikir itu ada Dzkir Asma, Zikr al Dzat, dan tempatnya zikir. Ini yang tujuh cara rinciannya bila yang sampai klimaksnya adalah zikir dengan seluruh pori-pori, seluruh urat syaraf, seluruh sel-sel, ikut zikir kepada Allah. Dan, yang paling sulit itu, kalau sudah masuk ke sini, sulit, yang paling berat kalau sudah masuk ke muthmainnah. Ini, yang tiga pertama ini gampang. Gampang, artinya kita gampang melakukan. Insya Allah, nggak sampai 40 malam, tujuh hari atau sebelas hari, zikir dengan akal, dengan lawwamah, zikir dengan mulhimah. Zikir yang ada di otak, zikir yang ada di sebelah kiri, zikir yang dada di sebelah kanan; ini yang mulai berat. mulai berat. Ini gampang sekali, gampang sekali hilang. Kalau ada gangguan sedikit saja hilang sudah. Kalau pikirannya melenceng, kalau pikirannya bukan lagi mencari ketenangan atau mencari yang hakikat itu, sudah. Sudah hilang itu. Turun lagi, itu. Kalau yang tiga gampang, masih. Asal masuk tarekat, tinggal di situ, e sebulan, ke Mbah Djalil misalkan, sebulan saja, sudah dapat yang tiga. Atau, ke Suryalaya misalkan, sebulan, dia dapat. Kalau yang ini harus sendiri ini. Sampai ke radliyah, sampai ke mardliyah. Atau, sampai ke kamilah. Saya kira, ini dulu. (Selesai).