“…Dalam pada itu pergolakan daerah yang terjadi di akhir 1950-an jangan dibaca sebagai gerakan separatisme, tetapi itu lebih banyak dipicu oleh semangat untuk menuntut keadilan dan otonomi daerah yang ditelantarkan oleh politik sentralistik saat itu….”
-Ahmad Syafii Maarif-
Tonggak Sejarah Bangsa Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menyongsong usia yang ke-100 pada 2045 mendatang. Satu masa dalam kurun yang menentukan untuk arah kemajuan suatu peradaban dalam sebuah kedewasaan sikap dengan pijakan dasar yang sama-sama bisa diterima sebagai buah dari rasionalitas perjalanan sejarah bangsa. Tentu, hal ini memerlukan upaya dan kerja keras, sekaligus tantangan, di dalam mewujudkan cita-cita yang telah menjadi arahan bersama sebagaimana telah ditetapkan di dalam UUD 1945 sebagai dasar konstitusi bernegara.
Dengan kata lain, problematika kompleks di dalam mencari akar persoalan yang masih menghinggapi masyarakat bangsa Indonesia saat ini masih memerlukan upaya-upaya inventarisasi agar dapat diselesaikan secara bertahap dan bersama-sama sehingga di dalam menyongsong babak kedua dari seratus tahun ke depan dapat dijadikan batu pijakan. Dan, mau tidak mau, tumpuan tersebut adalah menjadi beban kerja budaya. Sebab, hanya melalui budaya semua persoalan bangsa dan negara dapat diselesaikan. Keyakinan ini dapat dijadikan pegangan, karena pada tahun 2009, menurut Kumala Chandrakirana (2019) dalam “Strategi Budaya dalam Membangun (Kembali) Republik”, telah muncul energi baru di kalangan mekanisme HAM internasional terkait pengembangan konsep hak-hak budaya sebagai indikasi adanya kesadaran kurang berkembangnya pemahaman tentang hak-hak budaya ini, di samping sebagai respons terhadap menguatnya gerakan fundamentalisme dalam berbagai komunitas keagamaan di seluruh belahan dunia. Sebagaimana gerakan fundamentalisme tersebut terus bermetamorfosa setelah terjadinya badai “Arab Spring” ke dalam bentuk instabilitas negara dan bangsa di Timur Tengah berupa kelompok-kelompok separatisme, radikalisme, dan terorisme. Hal ini turut mendorong upaya-upaya pertahanan dan keamanan “rakyat semesta” di Indonesia agar instabilitas tersebut tidak berdampak buruk dan panjang di dalam negeri, terutama pertahanan dari segi budaya.
Problematika Kompleks yang Memerlukan Strategi Budaya
Menurut Kumala Chandrakirana, setelah rezim Orde Baru berakhir, Pemerintah Indonesia mulai meratifikasi konvensi-konvensi HAM internasional sebagai penegasan terhadap hak-hak asasi manusia bagi semua. Pada bulan September 1998 misalnya, parlemen telah mensahkan UU ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan yang menolak terhadap masa lalu yang penuh dengan kekerasan, ketidakadilan, dan penyiksaan. Namun demikian, setelah 20 tahun Reformasi, masih terjadi “pemaksaan keyakinan, siar kebencian, penghentian paksa kegiatan keagamaan, penyegelan dan penolakan tempat ibadah, perusakan rumah warga kelompok minoritas, dan ancaman terhadap anak-anak dari kelompok minoritas.”
Kasus perkasus menghadapi benturan-benturan masalah sendiri, seperti pada penangan masalah di Aceh. Menurut Kumala Chandrakirana, “Dalam konteks ini, lembaga HAM internasional sulit berkutik karena diperhadapkan dengan agama dan apa yang disebut sebagai hukum Tuhan.” Diskriminasi terhadap perempuan yang dilindungi oleh “hukum Tuhan” tersebut menyatakan: adat dan kebiasaan lokal lebih kuat daripada hukum. Maka, negara pun kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Di samping, agama telah dijadikan alasan, termasuk dalam kaitannya dengan hak perempuan atas tubuhnya dalam konteks aborsi misalnya. Benturan konvensi-konvensi HAM internasional terhadap adat dan kebiasaan lokal tersebut tidak semata terjadi di Aceh, melainkan hampir di semua agama yang memerlukan pendekatan budaya di dalam penyelesaiannya.
Oleh karena itu, pemetaan strategi budaya menurut Kumala Chandrakirana dipandang perlu dan dapat dirumuskan ke dalam tiga model prioritas: pertama, budaya dalam kerangka hak asasi manusia. Pada pokok ini, setiap individu, kelompok, ataupun komunitas menyatakan kemanusiaan mereka dan mengekspresikan makna yang diberikan atas keberadaan mereka sehingga setiap individu, kelompok ataupun komunitas tersebut membangun cara pandang yang khas dalam perjumpaan mereka dengan pihak-pihak luar yang mempengaruhi hidup mereka. Budaya, selanjutnya, mencerminkan nilai-nilai tentang kemaslahatan (well-being) serta kehidupan ekonomi, sosial dan politik dari individu, kelompok dan komunitas. Ia merupakan proses hidup yang menyejarah, dinamis dan berevolusi, serta memiliki masa lalu, masa kini dan masa depan. Dengan kata lain, budaya dan termasuk agama di dalamnya tidak bisa dianggap sebagai bentuk tunggal dan tetap. Artinya, setiap individu, komunitas dan kelompok, memerlukan kebersamaan di dalam memenuhi hak-hak budayanya.
Kedua, hak-hak budaya dalam pergulatan “Indonesia”. Pertanyaannya, bagaimanakah memaknai realitas kehidupan dan perjuangan dalam konteks budaya yang terus sedang dikembangkan, terutama pada konteks komunitas HAM internasional?
Budaya memungkinkan sekelompok individu untuk menyatakan kemanusiaan mereka dan mengekspresikan makna tentang keberadaan mereka. Dalam mengakses warisan budaya, Ibu Nani Nurani, seorang pegiat budaya, ia cakap melantunkan lagu-lagu Sunda, menarikan tarian adat Jawa Barat, dan pernah menjadi penyanyi atau penari di istana Cipanas. Pada 1968, ia ditahan dengan tuduhan terlibat pada partai terlarang dan dipenjara selama tujuh tahun tanpa proses pengadilan. Setelah bebas, ia didiskriminasikan oleh aparat negara, termasuk dihalangi untuk mengakses KTP seumur hidup dan paspor. Atas dasar pelanggaran tersebut, Ibu Nani Nurani kemudian melakukan gugatan hukum terhadap Pemerintah Indonesia. Sehingga pelanggaran atas hak-hak budaya dalam kaitannya dengan pelanggaran atas hak-hak sipil bisa dituntut pertanggungjawabannya secara hukum.
Hak budaya termasuk hak individu, sendiri ataupun bersama dengan kelompoknya, untuk berkontribusi pada penciptaan budaya, termasuk melalui kontestasi terhadap norma-norma dan nilai-nilai dominan dalam komunitas, tempat mereka menjadi bagian.
Ketiga, menuju bangunan strategi budaya. Pendekatan budaya yang berbasis hak berlaku, baik dalam kehidupan maupun pemenuhan atas hak-hak asasi manusia lainnya seperti hak-hak sipil, politik, dan ekonomi sosial. Dengan pendekatan budaya dapat memaknai hak-hak asasi manusia bukan sekadar perangkat hukum internasional melainkan juga sebagai nilai-nilai budaya kemanusiaan yang universal.
Dari asumsi tersebut, menurut Kumala Chandrakirana, maka perlu ditegaskan strategi budaya dalam bentuk-bentuk: pertama, penegasan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa dengan cara membangun bersama kepercayaan diri dan kelompok untuk menyatakan identitas yang beragam, menguatkan pemahaman dan diskursus publik tentang fakta kemajemukan Indonesia, mendalami dan mengembangkan pemahaman atas hak-hak budaya, menyuarakan pandangan-pandangan baru yang berlandaskan pada budaya kemanusiaan yang universal dari dalam tubuh komunitas budaya atau kegamaan masing-masing.
Kedua, pemaknaan atas kemanusiaan oleh para korban dan penyintas sebagai landasan bersama: mendukung upaya-upaya komunitas korban berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi sistemik dalam menyuarakan harapan dan kesaksiannya sebagai jati diri kemanusiaannya, mengakui dan menerima suara korban sebagai landasan bersama bagi proses membangun ulang kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, membuka ruang-ruang aman dalam komunitas bagi proses pemulihan dan rekonsiliasi, membangun pengetahuan dan analisis tentang dampak transformatif yang telah atau mungkin dihasilkan dari proses pemaknaan kemanusiaan di antara warga bangsa di berbagai konteks.
(Bersambung)