Salah satu akar sastra Indonesia yang kurang mendapatkan perhatian adalah sastra peranakan. Sastra yang diidentikkan kepada saudara-saudara peranakan dari Persia, India, Arab, dan China, meskipun tidak sedikit telah turut berkontribusi di dalam memajukan kebudayaan bangsa. Kritik ini pernah disampaikan oleh Maman S Mahayana di dalam studinya, meskipun tidak bergaung terlalu luas. Sependek pengetahuan saya. Sebab, sastra Indonesia pada umumnya masih ramai didominasi oleh sastra ideologis, kiri dan kanan. Sosialis-realis dan dakwah-idealis. Yang satu ingin mengembalikan kepada kenyataan sejarah, sementara yang lain ingin mengembalikan kepada cita-cita agama yang ideal dan bersih dari “dosa”.
Menelisik sastra Indonesia, mau tidak mau, akan bertemu pada proses sastra kolonial. Karena, faktanya, penggunaan huruf Latin yang diperkenalkan sejak bahasa Indonesia resmi sebagai bahasa nasional telah merombak pola dan tatanan sastra sebelumnya yang kurang diakui. Perubahan struktur bahasa yang berdampak secara langsung terhadap sastra setidaknya dapat dilihat dari dua peristiwa penting. Pertama, sebagaimana Buya Ahmad Syafii Maarif menyebutkan di dalam artikel “Pengantar”nya, “Penguatan Kesadaran Kebangsaan”; kesadaran berbangsa satu baru muncul tahun 1920-an bersamaan dengan perubahan nama organisasi mahasiswa “Indonesia” di negeri Belanda dari “Indische Vereniging” menjadi “Indonesische Vereniging” atau Perhimpunan Indonesia (PI). Mengutip dari Ali Sastroamidjojo di dalam biografinya, Buya Syafii menyebutkan: “…Arti persatuan bangsa Indonesia belum pernah menjadi perhatian ‘Jong Java’. Kesadaran kebangsaan saya baru sampai pada taraf kesukuan Jawa.”
Kedua, Maman S Mahayana dalam artikelnya “Anomali Generasi Milenial Sastra Indonesia” yang dilansir oleh lensasastra.id telah menyebutkan diantaranya gerakan Sumpah Pemuda pada 1928 adalah momentum penting bagi sastra Indonesia. Jika ditarik lebih ke belakang yang dapat dipahami dari pernyataannya adalah terjadinya perubahan sosial pada pertengahan abad ke-19, manakala “pergantian huruf Arab—Melayu ke huruf Latin lewat Keputusan Gubernur Jenderal Rochussen pada tahun 1850-an, telah memisahkan tradisi sastra Melayu adiluhung ke wilayah masa lampau nun jauh di sana.”
Menurut Maman lagi, “Karya-karya agung pujangga Hamzah Fansuri, Bukhari al-Jauhari, Shamsuddin As-Samatrani, Nuruddin ar-Raniri, Abdur Rauf Singkel, Raja Ali Haji, dan para ulama besar di berbagai kesultanan di Nusantara, seperti Aceh, Banjarmasin, Banten, Bima, Gowa, Makassar, Palembang, dan seterusnya, termasuk juga para pujangga Jawa, Sunda, dan Betawi, seperti Ronggowarsito, Hassan Mustafa, dan Muhammad Bakir (abad ke-16 sampai ke-20) peranannya senyap-lenyap begitu saja. Ketenggelaman mereka seolah-olah digantikan para penulis berbahasa Melayu rendah yang menggunakan huruf Latin.”
Dampak yang sangat dirasakan kemudian adalah lemahnya jiwa sastra manusia Indonesia. Sastra Indonesia belum memiliki jiwa yang kuat di dalam membangun, katakanlah, mental, spiritual, dan karakter bangsa.
Secara kritik, menurut Maman;
“Para pengelola surat kabar atau majalah, para pengarang Tionghoa atau siapa pun yang sekadar bisa berbahasa Melayu dan menulis huruf Latin, tiba-tiba saja tampil sebagai generasi baru yang oleh sebagian besar para pengamat sastra Indonesia ditempatkan dalam posisi terhormat sebagai perintis kesusastraan Indonesia (modern). Jika kita mencermati semua khazanah sastra yang dimuat dalam surat-surat kabar periode 1850-an sampai awal tahun 1900-an, tidak ada satu pun yang kualitasnya melebihi karya-karya para pujangga yang tadi disebutkan. Tak ada satu pun!”
Dari proses-proses sejarah yang disebutkan di muka, maka jiwa sastra menjadi “elan vital” yang belum pula menjadi perhatian. Sastra yang hanya menuntut bentuk-bentuk formal karya telah mengesampingkan proses ini. Padahal, dalam genealogi sastra pesantren telah mengalami proses-proses kamuflase yang dalam catatan saya terus bergerak dalam rupa dan bentuk berbeda di setiap masa dan kehadirannya, seperti “Ramalan Jayabaya” yang “disadur” dari kitab “al-Asrar”, karangan ulama Persia yang dibawa oleh Syekh Washil ke Kediri misalnya. Dan, seterusnya.