Secara gradual, hubungan Nusantara dan Timur Tengah sudah berlangsung sejak lama. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan sejarah yang menyebut, baik secara eksplisit maupun implisit, tentang Nusantara.
Kelemahan-kelemahan dari teori masuknya Islam ke Nusantara adalah lebih merujuk kepada fakta-fakta sejarah tentang tokoh dan karya-karyanya. Tidak pada kajian budaya dan relasi antar bangsa pada masa Islam mulai hadir sejak abad ke-7 di Jazirah Arab. Padahal, relasi dan budaya antar bangsa ini sangat menentukan: kapan dan di mana penduduk Nusantara pertama memeluk agama Islam. Sebagian mengatakan: titik nol Islam Nusantara adalah di tanah Barus, mengingat komoditas “ekspor” yang paling populer pada masa lalu adalah kapur Barus tersebut. Di samping, huruf-huruf yang secara epigraf (Arabes) sudah dikenal di perkampungan Barus.
Jiwa sastra pesantren sebagaimana saya sebutkan di sini yang kemudian menjadi sangat tersembunyi, tidak menampakkan dalam wujud ada dan ketiadaannya. Sebagaimana inti Islam tidak hanya terpusat pada tekstual dan kontekstual saja, melainkan juga esensial. Islam pada masa Rasulullah Saw misalnya lebih menekankan pada esensi ini, karena hanya sedikit yang mendokumentasikan ke dalam bentuk tulisan-tulisan. Bahkan, penulisan hadis pun masih sempat dilarang. Artinya, Islam pada masa Rasulullah Saw sangat substantif. Tidak mengenal wujud yang baku. Baru kemudian, pada fase pembukuan (kodifikasi), ketika al-Qur’an dibukukan ke dalam bentuk mushaf pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Islam merepresentasikan bentuknya dan wajahnya ke dalam sebuah “magnun”. Dengan kata lain, Islam adalah kitab suci. Islam dalam pandangan ini tidak boleh bertentangan dengan kitab suci al-Qur’an al-maktub. Namun berikutnya, timbul permasalahan pada saat Perang Shiffin terjadi. Ketika otentikasi dan otoritas teks dipertanyakan kembali, karena begitu banyak tafsir-tafsir yang muncul sehingga melahirkan varian-varian golongan umat Islam.
Demikian, Islam datang ke Nusantara tidak bisa dipandang sebagai kedatangan teks suci. Islam diperkenalkan melalui teks. Melainkan, karena manusia Nusantara yang sudah mengenal nilai-nilai luhur keislaman secara substansial. Jika tidak demikian, Islam memang sulit berkembang sebagaimana tragedi Cordova yang ceritanya dibesar-besarkan. Dengan kata lain, Islam budaya di Nusantara bukanlah Islam bentuk, melainkan Islam substantif yang menghubungkan relasi ruhani yang bersifat esensial. Demikian pula, sastra pesantren tidak mengenalkan bentuk yang baku sebagaimana sastra Indonesia yang perdefinitif. Sastra pesantren bisa lebih banyak macam dan bentuknya, mengingat degradasi moral dan peradaban yang turun naik. Sastra pesantren pada masa huruf Arab belum dikenalkan secara massif, masih menggunakan huruf-huruf lokal sebagaimana Kawi dan lain sebagainya. Substansi Islam sudah dikenal luas sebagai inspirasi peradaban. Hal demikian perlu dilakukan penelitian secara jeli sebelum memutuskan sebuah peradaban berbasis agama seperti Hindu, Buddha, Islam sebagaimana dikenal di dalam buku-buku sejarah pada umumnya. Sebuah pertanyaan, apakah kemunculan Ramalan Jayabaya sudah mengenal huruf Arab? Yang konon, ramalan tersebut mengandung muatan dari kitab ramalan sebelumnya, “al-Asrar”.