Membaca karya-karya Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari tidak bisa secara umum dan pukul rata. Harus gradual sesuai segmentasi peristiwa dan masa yang mengiringi perjalanan Beliau.
Tulisan-tulisan Hadratussyekh pada dasarnya bersifat risalah-risalah parsial. Kasus perkasus. Dalam hal-hal tertentu bersifat genre, kognitif. Misal, pada kasus pendapat tentang penggunaan bedug dan kentongan. Jawaban-jawaban dari pendapat tersebut lebih bersifat kognitif dengan landasan-landasan argumentasi fiqhiyah. Namun, dalam kasus-kasus umum (‘amiyah), nalar rasional lebih dikedepankan dengan menggunakan argumentasi-argumentasi umum umat Islam, dalil-dalil mafhum dari al-Qur’an dan hadis. Dalil-dalil mafhum adalah dalil-dalil shorih yang tidak memerlukan perdebatan-perdebatan panjang lagi.
Dalam kasus-kasus kognitif tidak bisa diabaikan sisi emosional dari seorang penulis. Emosi psikologis sangat berperan. Karena, terdapat karakter defensif dari pendapat yang berbeda. Bagaimana kondisi psikologis seorang Hadratussyekh ketika sedang menulis? Sebab, ada beberapa tulisan Beliau yang dipandang dari sudut situasional juga berbeda. Misal, dalam pandangan tekstualitas, pendapat Beliau tentang pandangan tasawuf “Risalah Ahlussunah wal Jama’ah” yang merujuk kepada Imam al-Ghazali dan Syekh Abu al-Hasan Al-Syadzili. Padahal, di dalam “Qanun Asasi” disebutkan: Hadratussyekh merujuk kepada Syekh Abu al-Qosim bin Muhammad al-Junaidi. Tentu, timbul pertanyaan: dalam hal apa pendapat tersebut berlaku? Sebagaimana Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili adalah seorang pelaku sufi dan pendiri tarekat. Bukan seorang peletak dasar sebagaimana Imam al-Ghazali. Sebagaimana pula seorang pelaku sufi lebih cenderung memperbanyak aspek-aspek amaliah praktis yang terkadang berbuah “syathahat” (lebih gampang disebut nyeleneh), yang pada umumnya tidak meninggalkan buah karya tertulis. Berbeda ketika Imam Al-Ghazali meletakkan dasar-dasar pemikiran yang tertuang dan bertujuan untuk menghidupkan agama (ihya ‘ulumiddin). Bisa dikatakan Imam Al-Ghazali adalah seorang ideolog. Sementara Syekh Abu al-Hasan Al-Syadzili dikenal karena ungkapan-ungkapan perilaku dan penghayatan yang ditulis oleh murid-muridnya. Dalam banyak hal, Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili memang merujuk kepada kitab yang ditulis oleh Imam al-Ghazali tersebut, Ihya Ulumiddin. Jika disederhanakan, inilah uniknya sastra pesantren. Seorang “sastrawan” tidak harus melahirkan sebuah karya, namun melalui karya-karya berikutnya yang ditulis oleh murid-muridnya dapat menjadi gambaran ia seorang sastrawan. Pada posisi ini, seorang sastrawan bisa sebagai seorang esensialisme.
Sarjana-sarjana terakhir telah menerima untaian-untaian pengetahuan yang sudah jadi dan baku. Hanya sedikit yang melakukan rekonstruksi. Terlebih, sarjana yang kemudian menjurus kepada pandangan skripturalisme dan tekstualisme. Mereka akan mengikuti jejak-jejak manuskrip. Tidak melihat kondisi psikologis dan kultural yang melingkupi ketika teks tersebut diterbitkan.
Pandangan tasawuf falsafi dalam perspektif tarekat (thoriqoh) tidak terdapat masalah. Karena, pada prakteknya, hal demikian seperti fana, hulul, maupun wihdatul wujud tak dapat ditolak adanya. Sebab, jika ditolak, maka akan menolak pula pada hal-hal esensial dalam tasawuf. Padahal, tasawuf sifatnya esensial. Tidak ada esensi, maka tidak ada tasawuf.
Tasawuf falsafi lebih diminati dalam kacamata pribadi dari sudut pengalaman spiritual. Orang yang sedang mengalami “trance” kemudian keluar kata-kata “syathahat”, hal itu tidak dapat dinyatakan secara tertulis. Sebagaimana “kata” adalah penjara makna. Tidak dapat dijadikan pegangan umum. Yang dijadikan pegangan umum adalah pandangan yang bisa dijangkau dan diikuti secara umum. Sementara tasawuf falsafi dibutuhkan suatu eksplorasi implisit yang tidak umum. Demikian, ulama-ulama kemudian menulisnya sebagai “khawariq al-‘adah”, nyeleneh, dan tidak bisa menjadi standar umum. Tetapi, dapat menjadi standar zaman. Wallahu a’lam.
Penulis: Goesd
Editor: Goesd