Ketiga, penegakan hukum dan akuntabilitas negara atas pelanggaran hak-hak budaya dengan cara meningkatkan pemahaman aparat negara tentang tanggung jawab negara terkait pemenuhan hak-hak budaya, mendorong adanya perlindungan yang efektif oleh negara terhadap semua warga yang menjalankan hak-hak budaya sebagai bagian dari hak-hak asasinya, mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran hak-hak budaya yang telah terjadi dan memastikan pertanggungjawaban hukumnya, mendorong terpenuhinya jaminan kepastian hukum bagi semua orang (termasuk perempuan) sesuai dengan Konstitusi R.I.
Keempat, pemajuan upaya pembaharuan Indonesia sebagai agenda transformatif dengan cara: menegakkan kembali misi, baik bersama untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi, kekerasan, ketidakadilan, serta penyalahgunaan kuasa; membangun kapasitas bersama untuk menjadikan budaya sebagai sumber perubahan yang transformatif dari dalam tubuh komunitas itu sendiri; mengubah dan memperbaiki budaya politik yang selama ini jadi penghambat upaya pembaharuan Indonesia.
Arus Balik Manusia Nusantara
Memahami budaya memang tidak semata berkaitan dengan seni dan warisan semata, karena hal demikian sangat simplistis. Budaya memiliki cakupan-cakupan yang luas. Budaya adalah semua aspek yang menyangkut pada kehidupan manusia dan suatu bangsa, baik dari sejarah, seni, teknologi, ilmu dan pengetahuan, hingga kepada tradisi dan keyakinan.
Di satu sisi, manusia Nusantara telah memberi kontribusi tidak sedikit bagi peradaban dunia dari zaman ke zaman. Hanya saja, perlu penelitian serius untuk mengakumulasi ke dalam bentuk konkrit hal-hal yang telah disumbangkan tersebut. Secara bahasa dapat dilihat kontribusi tersebut manakala adanya indikasi: kapur (Barus) yang dihasilkan dari tanah Barus, Sumatera Utara, telah menjadi komoditas ekspor sejak masa Fir’aun berkuasa di Mesir sebagai bahan pengawet mayat. Begitu pula, produksi rempah-rempah yang menjadi bahan komoditas perdagangan pada masa kejayaan VOC di Eropa. Dan, tidak sedikit hasil bumi seperti emas, timah, minyak, gas alam, dan bahan mineral lainnya yang menjadi penyokong utama bagi industri dan teknologi dunia.
Sementara di sisi yang lain, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BOS), Sensus Penduduk 2010 menyebutkan ada 1.331 kelompok suku di Indonesia yang terdiri dari nama suku, nama lain/alias suatu suku, nama subsuku, bahkan nama sub dari subsuku. Sementara jumlah bahasa di Indonesia, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Badan Bahasa telah memetakan dan memverifikasi sebanyak 652 bahasa daerah yang berbeda. Eksistensi suku bangsa dan bahasa tersebut akan terus berkembang sejalan proses budaya. Masing-masing akan menemukan ciri yang baru karena adanya percampuran dan persilangan budaya melalui perkawinan. Misal, orang-orang Jawa yang bermigrasi ke pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, maupun Papua tidak bisa dikatakan sebagai subsuku tertentu lagi, karena mereka akan meninggalkan identitas lama yang melekat. Mereka akan membentuk sebuah ciri khas yang baru.
Pendefinisian Indonesia dari proses-proses yang baru tersebut telah memberikan kesadaran sejak masa-masa berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana disebutkan oleh Ahmad Syafii Maarif (2019) dalam artikelnya, “Penguatan Kesadaran Kebangsaan”;
“…semestinya kesadaran kultural kita sebagai bangsa sudah semakin kokoh, tidak muncul lagi isu-isu negatif dan destruktif seperti adanya ancaman daerah tertentu yang ingin melepaskan diri ikatan kebangsaan Indonesia. Dalam pada itu pergolakan daerah yang terjadi di akhir 1950-an jangan dibaca sebagai gerakan separatisme, tetapi itu lebih banyak dipicu oleh semangat untuk menuntut keadilan dan otonomi daerah yang ditelantarkan oleh politik sentralistik saat itu….”
Namun, kenyataannya, perjalanan sejarah bangsa Indonesia masih dalam proses menjadi, belum jadi betul. Menurut Ahmad Syafii Maarif, “…Gangguan dan bahkan ancaman terhadap keberadaannya masih saja muncul, baik oleh pengaruh ideologi luar yang diimpor ke sini oleh kelompok-kelompok sempalan yang ahistoris, maupun oleh kelalaian negara untuk menegakkan keadilan sebagaimana yang diperintahkan oleh sila kelima Pancasila….”
Kesadaran dalam “proses menjadi” tersebut, menurut Ahmad Syafii Maarif, bukanlah hal yang mengejutkan, karena kesadaran berbangsa satu itu baru muncul pada 1920-an bersamaan dengan perubahan nama organisasi mahasiswa di negeri Belanda dari Indische Vereniging menjadi Indonesische Vereniging atau Perhimpunan Indonesia. Dengan demikian, berbangsa dan berbudaya satu merupakan kesadaran yang belakangan berpuncak pada deklarasi Sumpah Pemuda pada 1928 sebagaimana telah dicatat dalam sejarah.
Cirebon, 8 Maret 2021.