Siapa yang tidak kenal dengan Beliau? Tokoh muda yang meroket dengan tulisan-tulisannya yang memikat para pembaca. Yang selalu menempatkan satu pukulan “jabs” ringan di perut untuk mengajak tertawa bersama. Setelah sebelumnya dari awal, narasi digiring dalam sebuah keseriusan.
Namun bagiku, Bung Rijal adalah seorang petarung di alam bawah sadar. Ia bagaikan pengayuh sampan yang terjun ke kedalaman laut untuk memungut mutiara-mutiara. Di samping memang dasar dirinya sudah menguasai teknik-teknik beladiri ala Terate Setia Hati. Hal ini dapat disimak dari catatan-catatan ringkasnya pada perjalanan ke pulau bersejarah di bagian timur Indonesia, Banda Neira. Ibukota koloni Eropa sebelum Batavia dan Singapura. Banda Neira sempat menjadi ibukota negara Hindia Belanda pula setelah VOC bangkrut dan akhirnya dipusatkan di Batavia.
“Tulisan ini merupakan awal dari oleh-oleh saya pelesir sejarah di Banda Neira, Maluku. Saya, mewakili INAIFAS Kencong Jember bersama beberapa lembaga lain terlibat dalam Ekspedisi Banda Neira, selama 5 hari (4-8 Maret),” tulis Bung Rijal dalam memoar “Catatan Ekspedisi Banda Neira”.
Pada bagian pertama, Bung Rijal menulis tentang “Humor Retjeh Pendiri Bangsa di Banda Neira” yang dikutipnya dari beberapa humor karya Des Alwi, Sejarah Banda Naira (Pustaka Bayan: 2007).
Banda Neira menurut Bung Rijal berada di Maluku Tengah di sebuah pulau kecil dengan sejarah besar. Sejak abad ke-17, Banda Neira adalah “Mooi Indie” dan menjadi rebutan antara (Spanyol, red.), Portugis, Belanda, dan Inggris melalui perusahaan dagang bersenjata masing-masing untuk memonopoli penjualan biji Pala, rempah berharga di Eropa.
Hingga pada akhirnya, VOC, perusahaan kongsi dagang Belanda, berhasil secara penuh menguasai Kepulauan Banda Neira dan mendirikan benteng-benteng pertahanan, pulau tersebut pun menjadi titik strategis bagi perdagangan dan militer Belanda.
Tak heran, jika kemudian Banda Neira difungsikan untuk mengasingkan para pangeran dan sultan dari berbagai kerajaan di Nusantara ke pulau ini. Termasuk, Iwa Kusumasumantri, Tjipto Mangunkusumo, Hatta, dan Syahrir. Para penggerak kemerdekaan Republik Indonesia. “Dua nama terakhir ini baru masuk Banda setelah mengalami masa pembuangan di Boven Digul. Mereka mendarat pada 1936,” tulis Bung Rijal, seolah sedang menertawakan diri sendiri ketika menulis kisah tentang Bung Hatta berserta 16 peti buku yang dibeli dari Den Haag, Belanda.
“Kau mau jualan buku?” Pertanyaan yang mengingatkanku ketika sekali berjumpa Bung Rijal di depan pintu Makam Gus Dur pada Muktamar NU ke-33 2015 di Jombang.
“Buku-buku itu pula yang menemani hari-harinya saat dibuang ke Boven Digul. Jadi kita bisa membayangkan, bertapa repotnya Hatta mengangkut buku-bukunya ini saat dipindah dari Boven Digul ke Banda Neira,” tulis Bung Rijal, sembari mengingat kenangan masa-masa “perjuangan” dulu.
Pada bagian kedua, Bung Rijal menulis tentang kenalan barunya (bukan Yaki-yaki) dengan subtema: “Rizal Bahalwan: Menjaga Warisan Masa Lalu Untuk Masa Kini”.
Indonesia bagian timur memang bagaikan surga. Ikan-ikan lautnya terasa lebih segar dan gurih. Maka, wajar, jika Bung Rijal jatuh cinta. Kalau tidak, percuma bangsa-bangsa Eropa berebut datang ke sana. “Selama tiga hari di Banda Neira, Maluku Tengah, saya jatuh cinta. Pada alamnya, keramahan penduduknya, serta pada jejak sejarahnya,” tulisnya (8/3) dalam akun Facebook Rijal Mumazziq Z.
Namun yang jelas, boleh jatuh cinta dalam kapasitas sebagai pelancong atau peneliti sejarah di Indonesia bagian timur. Bukan sebagai kuli buah Pala atau berjualan buku. Karena, akan sangat susah untuk sekadar menyapa dan tertawa seperti tergambar pada masa Pemerintahan Belanda.
“Di setiap sudut pulau kecil ini, pada setiap jengkalnya, bisa disusun menjadi narasi sejarah. Pada komposisi penduduknya, seni arsitektur rumah, kantor, dan masjid, reruntuhan benteng, bahkan hingga meriam Belanda yang tercecer di pinggir jalan dan di kebun warga.”
Keragaman budaya yang dimiliki oleh Banda Neira tidaklah mengherankan. Sebagai bekas ibukota negara Hindia Belanda tentu secara administratif telah menerima kedatangan tamu dari berbagai suku bangsa di dunia. Penduduk Banda Neira terdiri dari beragam unsur yang membentuk unsur baru kebudayaan. Unsur-unsur genetika yang menyertai darah dan tubuh mereka bisa berasal dari Jawa, Melayu, Buton, Bugis, Spanyol, Inggris, Portugis, Belanda, dan China. “…Tumbukan berbagai etnis dari Nusantara dan Eropa ini yang melahirkan identitas sebagai “Orang Banda”. Multietnis yang selama berabad-abad saling kawin mawin dan beranak pinak lantas mengidentifikasi diri sebagai sesama putra putri Banda Neira. Di awal kemerdekaan, bahkan masyarakat Banda mengangkat seorang keturunan Belanda, yang memilih menjadi bagian dari orang Indonesia, sebagai pemimpin administratif…,” demikian tulis Bung Rijal. Hal ini mengingatkan pada aspek “nation-state” yang dibangun tidak menutup kemungkinan adanya jarak pribumi dan non pribumi sebagaimana disuarakan oleh Ernest Douwes Dekker alias Danudirja Setiabudhi (1879-1950) pendiri “National Indische Partij”. Partai politik pertama yang didirikan pada masa negara Hindia Belanda. Kenyataan ini telah memberikan kesadaran: perbedaan suku bangsa sudah selesai di Indonesia.
Dengan demikian, untuk membangkitkan kesadaran suatu bangsa dan kalangan santri khususnya memang harus menguasai detail-detail sejarah. Di satu sisi, sejarah memang dapat membangkitkan memori yang memuat alam bawah sadar seseorang atau suatu bangsa atas jadi diri dan asal usulnya. Sementara di sisi yang lain, sejarah dapat dijadikan sebagai kritik kekinian dan mendatang, baik kritik diri ataupun kritik eskternal seperti keragaman adalah keniscayaan.
Cirebon, 10 Maret 2021.
Penulis: Goesd
Editor: Goesd