Masih sedikit santri-santri yang memiliki kepedulian terhadap sejarahnya sendiri. Karena, memang kebanyakan tidak mengerti tentang sejarah itu sendiri. Padahal, sejarah berseliweran di sekitar mereka, bahkan mereka sendiri adalah sejarah itu sendiri. Misal, santri-santri dari pesantren tokoh-tokoh terkenal seperti Mbah Maemun Zubeir, Gus Mus (KHA Mustofa Bisri), K.H. Salahuddin Wahid, dan lain-lain, tidak sadar jika mereka berada di dalam pusaran sejarah. Dan, seberapa banyak mereka menghimpun data dan dokumen yang bernilai sejarah dari tokoh-tokoh tersebut? Meskipun belakangan sudah mulai bermunculan nama-nama seperti K.H. Agus Sunyoto, K.H. Ahmad Baso, dan Gus Zainul Milal Bizawie. Namun, mereka masih melakukan penggalian sejarah hampir sama dengan sejarawan-sejarawan pada umumnya melalui standar-standar historiografi dan akademis.
Sedikit perlu dikemukakan, apa pengertian sejarah bagi seorang santri? Sejarah tidak bisa terlepas dari ruang dan waktu. Pada dasarnya, kalangan santri lebih banyak dan lebih dekat kepada sejarah. Namun, sejarah yang dimengerti oleh mereka kebanyakan sejarah normatif: sejarah nabi-nabi, sahabat-sahabat, dan ulama-ulama terkemuka. Pada tataran akademis pun lebih cenderung pada sejarah kritik teks seperti istilah yang sering digunakan adalah “Naqd al-Nash”, kritik Syarah dan kritik Matan. Penguasaan sejarah bagi seorang santri masih sangat minim, kalaupun ada hanya menyentuh aspek Asbab al-Nuzul suatu ayat dan Asbab al-Wurud suatu hadis. Sedikit yang menyinggung khazanah-khazanah sejarah seperti “al-Thabaqat”. Padahal, rerata seorang ilmuwan dan mufassir muslim memiliki pengetahuan sejarah yang matang seperti Syekh Al-Tabhari dan Syekh Al-Zamakhsyari.
Di Indonesia, kata sejarah lebih dikenal, diambil dari kata bahasa Arab, “syajarah”, yang berarti pohon. Sebagaimana pohon memiliki akar, batang, cabang, ranting, buah dan daun. Dalam dimensi waktu memiliki keterikatan masa lalu, kini, dan yang akan datang. Keseluruhannya adalah sejarah. Dengan kata lain, sejarah bukan hanya cerita-cerita masa lalu saja. Tapi, melibatkan masa kekinian dan yang akan datang. Kata sejarah dapat diperbandingkan pula dengan kata historis yang diambil dari kata bahasa Inggris. Kata historis yang dapat diartikan sebagai “He Stories” atau “His Story'”. Cerita dia atau cerita milik si empunya cerita, mereka yang menang. Cerita mereka yang kalah tidak bisa dikatakan sebagai sejarah seperti Babad Pesisiran, cerita-cerita sastra, dan lain sebagainya. Cerita demikian telah dianggap sampah. Kitab tafsir “Al-Kassyaf” karya Syekh Al-Zamakhsyari ditolak karena mengandung banyak cerita-cerita Israliyat. Tanpa melihat metode dan studi pendekatan susastra, kitab tafsir “Al-Kassyaf” tersebut tetap akan ditolak.
Genealogi sejarawan santri bisa dipatok dan didasarkan pada mereka, kalangan santri, yang menulis tentang sejarah kesantrian. Tentang dunia mereka sendiri. Ruang lingkup mereka meliputi dunia kesantrian dalam pengertian lebih luas. Menurut pendapat Gus Mus, santri adalah kalangan yang hidup di surau-surau, langgar-langgar, dan masjid-masjid. Tidak terbatas pada pondok pesantren saja. Aboebakar Atjeh misalnya menulis buku biografi Sejarah Hidup KHA Wahid Hasjim dan Karangan yang Tersiar (terbit perdana pada 1957), K.H. Saifuddin Zuhri menulis buku otobiografi Guruku Orang-orang dari Pesantren (terbit perdana pada 1974), Prof. Nourouzzaman Shiddiqi menulis buku Jeram-jeram Peradaban Muslim sebagai manifesto “sejarah muslim”, bukan “sejarah Islam” (terbit perdana pada 1996),, dan M. Nurcholish Madjid menulis buku Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (terbit perdana 1997).
Sebetulnya, ada tiga model kajian sejarah yang dapat ditelusuri oleh seorang peminat sejarah: sejarah akademik, sejarah oral, dan gabungan keduanya. Istilah akademik dan oral di sini lebih diorientasikan kepada pengkategorian saja, pada prakteknya memang diperlukan sebuah verifikasi dan kritik keabsahan/kesahihan. Sebab, terkadang sejarah juga berangkat dari sejarah oral atau mitologi. Para sejarawan pada umumnya memang ketat pada disiplin-disiplin historiografi yang bersandar pada artefak-artefak dan dokumen-dokumen sebagai landasan fakta-fakta sejarah. Mereka cenderung mengabaikan imajinasi sosial dan membiarkan ruang kosong sejarah tetap melompong. Siapa yang kuat data dan faktanya, dialah pemilik otoritas. Maka, tidak heran, jika sejarah yang berdasarkan dari sumber-sumber babad, sanad silsilah, atau ingatan masyarakat tidak dianggap penting. Kalau ingin belajar sejarah, berangkatlah ke Eropa, karena sumber-sumbernya di sana! Sebab, manuskrip-manuskrip kuna sudah diboyong ke sana semua.
Sartono Kartodirdjo (1921-2007) adalah “yang memelopori sebuah pendekatan yang menolak histiografi dengan perspektif kolonial sentris. Ia melihat sejarah lebih dari perspektif lokal. Perspektif Indonesia sentris yang menempatkan orang kita sendiri sebagai pelaku utama, bukan pemerintah Hindia Belanda. Disertasinya: Pemberontakan Petani Banten 1888 (The Peasant Revolt of Banten in 1888) adalah suatu magnum opus yang mencerminkan hal itu.” Demikian tulis Seno Joko Suyono dalam “100 Tahun Sartono Yang Sepi” (2021). Bisa jadi, Sartono adalah sejarawan (Katolik) pertama yang mendasarkan penulisan sejarah dalam perspektif diri sendiri. Berikutnya, dapat pula dibaca tulisan-tulisan esai Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) yang sarat dengan sejarah dalam perspektif dirinya sendiri. Pun, sastrawan Pramoedya Ananta Toer (PAT) yang menafsirkan sejarah ke dalam bentuk fiksi novel.
Demikian, diharapkan ke depan, Bung Rijal Mumazziq Z dapat menjadi pelopor “Madrasah Sejarah” di Indonesia dan kalangan santri khususnya. Sehingga dalam rintisan sejarah santri tidak dilakukan olehnya sendirian, karena medannya yang sangat lebar dan luas.
(Bersambung).
Penulis: Goesd
Editor: Goesd