Dalam ceramahnya di Riau (2022), kemudian dipublikasikan melalui media YouTube, Ustad Idrus Ramli kurang lebih menyatakan: Ahlussunah wal Jama’ah harus merujuk kepada kitab (teks), kalau tidak, maka bukan Ahlussunah wal Jama’ah. Pandangan ini tentu sangat menggelisahkan warga Nahdliyyin yang selama ini sudah sedikit merasa “sumuk” dengan kehadiran NU Garis Lurus yang digawanginya. Terutama, gerakan tekstual tersebut terkesan gagap ketika menghadapi pemikiran+pemikiran Buya Said (KH Said Aqil Siroj).
Hal ini bertentangan pula dengan realitas masyarakat Nahdliyyin yang beragam (ada yang alim al lamah, ada yang alim saja, juga ada yang awam). Tentu, pendapat Ustad Idrus Ramli tersebut telah menggiring asumsi: otoritas teks (teks yang berkuasa) adalah segalanya sehingga ilmu-ilmu berikutnya seperti sejarah, susastra, biologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya dianggap tidak cukup representatif untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh teks itu sendiri.
Reaktualisasi Ahlu Al Sunnah wa Al Jama’ah di Indonesia
Membaca karya-karya Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari secara tekstual akan sangat berbahaya jika tidak diimbangi dengan pengetahuan yang memadai. Apalagi hanya melihat dari segi tekstualitas saja.
Setiap kehadiran sebuah kata atau istilah tentu memiliki latar belakang sejarah dan praktik penggunaannya. Tidak cukup hanya dengan melakukan komparasi.
Demikian pula ketika mengartikan “ahlussunah wal jama’ah” dengan gaya sebutan dalam istilah Moh Arkoun (1928-2010) sebagai Masyarakat Kitab. Konsteksnya akan sangat sempit meliputi masyarakat pesantren saja di Indonesia. Tidak mencakup masyarakat muslim secara umum.
Reaktualisasi teks yang dilakukan oleh Buya Said dan juga tokoh-tokoh seangkatan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, 1940-2009) telah berupaya untuk mengantisipasi teks dari kematian. Ketika tafsir menjadi liar dan sangat berkuasa. Sehingga nalar-nalar logis tidak lagi berfungsi. Jika Ahlussunah wal Jama’ah diartikan sebagai masyarakat kitab an sich dengan mengabaikan realitas sosial, maka yang terjadi adalah penyempitan tersebut. Dengan kata lain, Ahlussunah wal Jama’ah dapat dimengerti secara sederhana sebagai masyarakat berkumpul untuk konteks tradisi di Indonesia. Masyarakat yang tidak mementingkan nalar individual seperti tafsir-tafsir mencil dan nyeleneh. Dengan berkumpul, masyarakat dapat membangun nalar sehat berdasarkan harmonisasi dan toleransi mayoritas (al sawad al a’dham).
Realitas sosial atau realitas kemanusiaan (الواقعية الانسانية) merupakan konsep yang ditawarkan oleh Buya Said dalam kerangka menghidupkan tradisi Ahlussunah wal Jama’ah. Dengan demikian, teks bukan otoritas tertinggi sebagai alat legitimasi realitas yang mengabaikan kreativitas (bid’ah), namun bagaimana teks itu dapat berdiri dan hidup.
Ideologisasi Islam di Indonesia
Bahaya yang ditimbulkan dari otoritas teks yang terlalu berkuasa jauh-jauh hari sudah diperingatkan oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari melalui tulisannya, Risalah Kaff Al-‘Awwam ‘An Al-Khaudh Fi Syirkah Al-Islam (Risalah Pencegah Orang Awam Masuk Organisasi Sarekat Islam). Teks jangan dibiarkan mati dan lepas dari konteksnya. Kalaupun tidak sesuai antara teks dan konteksnya, maka diperlukan reaktualisasi.
Otoritas dan kekuasaan yang dibangun atas nama teks tersebut pernah terjadi pada masa HOS Cokroaminoto. Terutama, ketika teks harus tunduk di bawah kuasa tafsir-tafsir liar. Pada masa itu, gelora “Kembali kepada Al Quran dan hadis” menjadi slogan untuk aksi-aksi pemurnian Islam (purifikasi). Sehingga yang terjadi adalah otoritas dan kekuasaan teks menjadi absolut di satu sisi dan keliaran tafsir yang mengarah kepada tindak-tindak liberalisme. Dikatakan liberal, karena akar-akar yang membangun tempat berdirinya teks terus dipangkas. Sejarah sebuah kata misalnya tidak boleh bermakna ragam.
Dengan adanya otoritas dan kekuasaan teks yang absolut tersebut muncul ideologisasi terhadap Islam itu sendiri. Islam harus dimaknai tunggal sebagai sebuah ideologi, bukan sebagai jalan/pedoman hidup, way of life. Dengan menjadikan Islam sebagai ideologi tunggal, walhasil Islam menjadi tertutup dari dinamisasi sosial dan keterbukaan way of life. Dengan kata lain, ideologi Islam kemudian menjadi alat politik praktis untuk menegakkan otoritas dan supremasi teks dan tafsir-tafsir liar.
Dengan demikian, melihat dari realitas sejarah Indonesia yang singkat, ideologi Islam tidak cukup berjalan efektif. Manusia Indonesia (dalam hal ini Nusantara) memiliki karakter tersendiri. Mereka hanya bisa disatukan dengan realitas kemanusiaan dan kebangsaan (الواقعية الانسانية) yang dapat menjadi a single majority in culture.
Apa yang dilakukan oleh Ustad Idrus Ramli dan HOS Cokroaminoto tidak jauh berbeda. Perbedaannya, jika HOS Cokroaminoto mengkultuskan teks Al Quran, maka Ustad Muhammad Idrus Ramli telah mengkultuskan teks-teks pesantren.
Cirebon, 31 Mei 2022.