Selama enam bulan berselang, ia terendap lara. Lost contact, manakala deringan demi deringan tak terjawab. Tiba-tiba, ia telah muncul, menyapa, dalam gembira. Wajahnya bersinar dengan aktivitas yang rutin, kopi dan udud. Masih seperti semula pada beberapa tahun silam yang tak terlalu jauh. Rambutnya masih tergerai panjang, berbaju kaos putih, dan senyum yang mengembang. ‘Piye, Cak?” sapanya, mengumbar dengan riang.
Gus Kamid, biasa kami memanggilnya. Berulangkali, aku mengingat-ingat wajahnya. Tidak ingat, batinku. Gelap. Bocah seperti apa dulu? Tapi, aku menganggukkan kepala seolah aku masih mengenal baik dalam tatapannya. Jika saja ia tidak cepat mengambil kesimpulan dalam harapan yang memang tak pernah hadir. Sebagai mentor, sedikit banyak, aku berkata berbuih-buih. Tentang masa depan yang kataku.
Memang, sastra terkadang tak mengenal kata Tuhan. Meskipun beruntai-untai syair mengeluh dengan atas namanya. Aku, ya, aku tak mengenal aku yang lain.
Sulit menebak maunya meskipun berulangkali dalam dengarku ia berkata terus terang. Mungkin curhat maksudnya. Tapi, aku berkata intimidatif yang kumaksud dapat mengalihkan perhatiannya yang gundah.
Timbul penyesalan. Tak seharusnya, aku berkata kasar atau jelas menyinggung perasaannya. Sampai tiba waktu ia tak pernah lagi hadir di depanku. Kalaupun berjumpa, sekadar videocall, bersapa dalam senyum yang tak lupa, senyap.
Aku perkenalkan waktu itu seorang gadis model yang wajahnya tumpah di laman-laman instag. Aku mengenal baik keluarganya, bahkan pernah berjumpa ibunya, yakinku padanya.
Gus Kamid tersenyum. Tidak iya, tidak juga tidak. Ia kemudian memutar kaset masa lalunya.
Ia kemudian mengaku telah mengambil program lanjutan. Melanjutkan kuliah. Setelah bercerita panjang lebar tentang materi-materi kuliah yang dia suka. Ia mengaku sudah bisa menulis dan terus menulis. Dia terpacu untuk memasuki dunia kata yang entah.
Waktu seperti tak pernah beranjak. Masih dalam cerita yang sunyi. Tentang pengulangan dari cerita-cerita yang seperti tak usang. Meskipun tetap dalam selera yang jengah. Denting-denting tali gitar yang terpetik jari jemari halusnya masih terasa hambar.
Meskipun dalam tatap penuh keraguan. Gus Kamid benar-benar ingin menghapus keraguan semua orang. Selembar kartu undangan untuk hadir dalam perayaan yang tak akan terlupakan. “Kudu percoyo to, cak. Sesuk teko, yo?” tatap matanya meminta.
Ngawi, 1 Juni 2022.