Dalam cerita yang populer, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, 1940-2009) sempat ditanya; kenapa Gus Dur tidak pernah ndalil atau memakai sorban seperti parakiai kebanyakan?
Dengan ringan Gus Dur menjawab, “Lha, saya gini aja orang sudah panggil saya kiai. Kalau yang lain, kan, mesti banyak kutip ayat dan pakai sorban atau jubah, baru dipanggil kiai.”
Jawaban Gus Dur ini seperti ringan-ringan saja, padahal memiliki makna yang dalam.
Pertama, Gus Dur tidak atau jarang mendalil karena sarana komunikasi yang tepat untuk karakter suku-bangsa Indonesia adalah dengan guyonan dengan membawa suasana humor. Sehingga memerlukan kecerdasan tersendiri untuk membuat joke-joke kecil. Tidak semua orang pandai membuat humor. Atau, tidak semua orang mampu mencairkan suasana tegang dan kaku. Kecerdasan Gus Dur tersebut tidak saja disampaikan dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah, tapi juga dengan bahasa asing seperti Inggris, Arab, dan Perancis. Gus Dur fasih berbahasa Perancis.
Untuk kalangan stand up komedi, melucon dengan menggunakan bahasa sehari-hari tidak terlalu sulit, karena menguasai aksentuasi, gestur, gaya bahasa, dan karakter dengan mudah. Hanya dengan menumbuhkan karakter pribadi saja. Tapi, untuk melucon dengan bahasa asing akan sangat sulit karena pertimbangan karakter yang berbeda. Cukup lama waktu untuk mempelajari karakter orang Kuba misalnya. Namun, Gus Dur dengan cepat beradaptasi sehingga Presiden Kuba, Fidel Castro (1926-2016), bisa tertawa dan enggan cepat-cepat beranjak pergi hanya untuk menyaksikan secara langsung presiden yang pandai humor itu.
Kedua, dengan penampilan seperti apapun, bahkan bercelana pendek yang disaksikan banyak orang di dunia ketika Gus Dur dilengserkan, marwah Gus Dur sama sekali tidak luntur. Orang tetap menganggapnya kiai dan panutan masyarakat. Coba bayangkan jika ada seorang kiai yang mampu berlaku seperti Gus Dur!
Ini adalah salah satu kehebatan Gus Dur. Meskipun ia dibolak balik sama sekali tidak menurunkan kelasnya. Ibarat mutiara, meskipun terbenam dalam lumpur atau kotoran, ia tetap mutiara yang bernilai. Meskipun Gus Dur bergaul dengan siapapun dan berada di manapun, sama sekali tidak menjatuhkan marwahnya.
Orang pesantren menyebutnya “maqam”. Posisi yang memiliki nilai mulia sehingga tidak bisa ditiru atau diimitasikan. Memang, itu anugerah yang tidak diberikan Allah Taala kepada semua orang. Itu maqam khusus.
Namun sayang, tidak sedikit orang yang ingin berlaku dan menjadi imitasi dari Gus Dur. Mereka meniru-niru gaya seolah Gus Dur. Bahkan, lebih Gus Dur daripada Gus Dur sendiri. Tahu, kan, maksudnya? Mereka berlaku nyeleneh ingin seperti Gus Dur, tapi tetap saja tidak bisa. Luntur dan marwah mereka jatuh. Coba kalau ada presiden yang berani bercelana pendek lagi seperti Gus Dur! Pasti akan buru-buru dibilang gila dan dicap, “Dia gila beneran!”
Cirebon, 1 Juni 2022.