Ibarat ayam dan telur, orang akan bertanya, manakah yang lebih dahulu lahir? Apakah agama lebih dahulu atau susastra?
Yang jelas, meskipun sering seiring sejalan, agama dan susastra adalah dua entitas yang memiliki sejarah masing-masing. Hanya agama sering mengklaim, jika susastra lahir dari agama. Dan, sebaliknya, susastra mengklaim kalau susastra lahir dari proses dan sejarah manusia, tanpa ada campur tangan Tuhan. Tuhan akan ditemukan di dalam susastra.
Dalam analisis ini, susastra dalam agama melahirkan kitab suci dengan tingkat keyakinan masing-masing pemeluknya. Pada umat Hindu, kitab suci tidak saja berupa ajaran-ajaran moral Weda, melainkan dongeng-dongeng tentang kebajikan yang disebut “purana”. Pada umat Buddha, terdapat kitab suci Tripitaka serta dongeng-dongeng kebajikan Jataka. Pada umat Yahudi, kitab suci tidak hanya Talmud (Tanakh atau Taurat), melainkan juga ada Nevi’im (kisah nabi-nabi). Pada umat Kristen, terdapat kitab suci Injil yang ditulis oleh pararasul. Dan, umat Islam memiliki kitab suci Al Quran beserta kitab-kitab tafsirnya. Semua kitab-kitab suci beserta tafsir-tafsir dan dongeng-dongeng yang mengajarkan tentang moral tersebut bersifat susastra karena tidak jarang menggunakan bahasa simbolik yang sulit dimengerti.
Terlepas dari sejarah agama dan kitab suci tersebut, muncul satu gerakan sekularisme yang mengabaikan peran Tuhan dalam penulisan-penulisan susastra dengan menitikberatkan pada manusia sebagai subjek utama. Sebetulnya, di sini sedang terjadi pergeseran peran. Susastra yang biasa digunakan untuk menjelaskan tentang ajaran moral dan intisari kitab suci bergeser kepada penulisan-penulisan yang bersifat istana sentris. Susastra dipandang sebagai salah satu alat propaganda kekuasaan di satu sisi dan susastra yang dipandang sebagai antikekuasaan pada sisi yang lain. Di sini, peran Tuhan tidak dihadirkan sama sekali. Kalaupun Tuhan dihadirkan hanyalah bagian (sekuel) dari sebuah tema saja, tidak terintegrasi ke dalam susastra.
Pada perjalanan masa yang disebut “modern”, bisa saja antara agama dan susastra saling mengabaikan. Agama tidak memerlukan susastra dan sebaliknya susastra tidak memerlukan agama.
Sebetulnya, agama bukan dalam sebutan yang pasti. Akan lebih tepat jika disebut hubungan intim antara manusia dan Tuhannya. Dengan kata lain, agama adalah perkembangan sebuah tatanan sosial yang stabil akibat Tuhan yang menghendakinya.
Umat Islam yakin dan percaya: Tuhan adalah pemberi inspirasi pertama kepada manusia. Mulai dari alam ruh hingga ke alam syahadah di muka bumi. Sebagaimana telah disebutkan Al Quran di dalam surat Al A’raf ayat 172;
وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّكَ مِنۡۢ بَنِىۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُهُوۡرِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَ اَشۡهَدَهُمۡ عَلٰٓى اَنۡفُسِهِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰى ۛۚ شَهِدۡنَا ۛۚ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنۡ هٰذَا غٰفِلِيۡنَ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.”
Dari ayat tersebut dapat diambil intisari, jika inspirasi pertama manusia berasal dari Tuhan. Terdapat dialog suci antara bakal manusia dan Tuhan secara langsung.
Tapi, susastra modern tidak mementingkan hal itu. Keyakinan sastrawan atau paraahli susastra menyebutkan susastra adalah murni dari manusia yang berkegiatan atau berkarya. Persoalan inspirasi didapat dari mana, tergantung objek yang ditemukan dan arah ke mana tangan menulis.
Maka, tidak heran, jika kemudian susastra pesantren misalnya tidak mendapat perhatian penting dalam kajian-kajian dan studi-studi susastra modern. Karena, susastra kemudian dianggap sudah hadir dari peran-peran Tuhan yang Maha Berkehendak. Sehingga seorang sastrawan akan pasrah dan tunduk sejak awal ia menulis.
Cirebon, 1 Juni 2022.