Pengalamannya bertarekat sudah sejak kecil, karena ayahnya seorang kiai yang berhasil membina penduduk desa melalui jalur tarekat (thariqah). Tapi, kalau membincang susastra dan tarekat tidak cukup segelas kopi dan sebungkus rokok, karena akan menjadi obrolan dan diskusi yang panjang. Itupun tidak cukup sebulan.
Kiai Jakarta yang tinggal di desa ini juga kaya dengan pengalaman. Melanglang buana dengan tujuan muwajahah (ثواجها إلى الله) adalah bagian terpenting dari prosesnya untuk menjadi mursyid Thariqah Al Syadziliyah Al Dimyatiyah yang berpusat di Cidahu, Pandeglang.
Mengutip dari ceramah Buya Said (KH Said Aqil Siroj), proses bertarekat/salik sebaiknya melalui tiga proses penting secara kontinyu, yaitu hajar (puasa), sahar (melekan, tidak tidur malam), dan safar (berkelana) dengan niat tawajuh (menghadap Allah Taala). Maka, menurut KH Amin Abdul Hamid, mengutip dari kalam Imam Ali bin Abi Thalib, seorang salik (bertarekat) sebaiknya harus menjalani tiga prosesi penting tersebut. Sedikit bicara, sedikit makan, dan sedikit tidur. Jadi, puasa dalam pengertian Abah Amin, panggilan KH Amin Abdul Hamid, tidak saja menahan lapar, melainkan juga menahan bicara. Dalam istilah Jawa sering disebut “ngempet” atau “al imsak” menurut bahasa Arab.
Cukup di sini, salah satu proses penting bertarekat hingga mencapai tingkat tasawuf atau bersih dari segi ucapan, makan-makanan halal, dan selalu berzikir. Dari proses ini, insyaallah, akan ditemukan ilham atau inspirasi dari Allah Taala. Dengan tidak memperlebar bahasan hingga tingkat ketersingkapan atau al kasyaf yang rumit.
Seperti susastra, tarekat juga memiliki kesamaan genre, baik genre tersebut terlembaga maupun personal. Genre atau tarekat yang terlembaga tersebut memiliki nama-nama aliran. Meskipun genre atau tarekat tersebut bertumpu pada agresivitas individual. Sebagaimana hadis Qudsi menyatakan: seorang hamba yang mendekat kepada Allah Taala dalam selangkah, maka Allah Taala pun akan mendekat dengan seribu langkah. Dan, seterusnya. Artinya, orang yang agresif atau gigih akan mendapat buah hasil yang tidak sedikit sebagai anugerah dariNya.
Menurut Abah Amin, ada banyak cara mencari inspirasi diantaranya proses ilham itu. Dan, itu yang benar. Tidak berpretensi harus ke lokalisasi dulu atau mabuk dulu baru dapat inspirasi. Tidak begitu. Ada banyak jalan.
“Tinggal lagi, susastra kita mau menerima tidak hal demikian?” tanyanya. “Memang, tafsir-tafsir sastrawi tidak begitu disukai paraulama di dalam menafsirkan Al Quran karena sifatnya terbuka, vulgar. Padahal, sastra itu ya seperti itu.”
Bagi Abah Amin, perjalanan susastra Indonesia tidak mengalami perkembangan yang pesat seperti ada dikotomi antara susastra agama dan susastra umum. Padahal, sastra ya sastra kalau mau dilihat sebagai alat, sarana. Bukan karena itu sastra jalanan berbeda dengan sastra pesantren. Tidak begitu, sastra itu alat seperti rumah bagi bahasa yang dipakai orang-orang Indonesia.
Bertarekat itu ada banyak genre dan alirannya. Sama seperti susastra. Jika paraulama sufi menyebut tarekat atau jalan menuju Allah itu sebanyak napas makhluknya, maka begitu pula susastra. Tidak terhitung. Dan, susastra Indonesia masih berhitung-hitung di situ. “Nanti, saya bilang susastra dan tarekat muncul lagi sastra-tarekat. Ya itu pekerjaan orang yang tidak punya pekerjaan saja,” pungkas Abah Amin.
Ngawi, 2 Juni 2022.