Jika melihat materi pelajaran di sekolah-sekolah atau di pesantren-pesantren, susastra tampak teknis sekali sifatnya. Hal-hal teknis demikian tampak dalam materi penggunaan gaya bahasa (metafora/istia’arah). Meskipun pada prinsip-prinsip berbeda sebutan, namun secara struktural gaya bahasa atau istia’arah tersebut sama saja.
Menggagas Susastra Alternatif
Jika belakangan muncul sejarah alternatif, mungkin akan muncul pula susastra alternatif. Padahal, susastra itu sendiri merupakan jalan alternatif dari bias formalitas-formalitas.
Kritik pertama yang akan disampaikan adalah kebebasan dari belenggu kata. Seperti diketahui, jika kata adalah belenggu makna. Namun, bukan berarti di dalam kata tidak terdapat makna.
Kritik yang kedua adalah keragaman definisi susastra. Pada pengertian etimologis, “su” sering diartikan indah sementara “sastra” diartikan tulisan. Sehingga diartikan, susastra adalah tulisan indah. Namun, justeru pengertian tulisan indah di sini sering disebut “yang tak terkatakan” atau “yang tak tertuliskan”. Setiap keindahan yang hakiki adalah yang tak terkatakan atau tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kalau bisa diungkapkan dengan kata-kata, maka keindahan itu akan berkurang walaupun masih tersisa keindahan.
Dengan demikian, makna susastra secara hakiki adalah yang tak terkatakan. Tidak ada kebenaran tunggal dari maknanya yang hakiki.
Susastra Universal
Pada perkembangannya, makna dapat dibahasakan secara universal, mengena semuanya. Tanpa melihat perbedaan-perbedaan agama, suku-bangsa, ras, dan bahasa. Susastra berdiri tanpa ada keberpihakan pada hal-hal tersebut. Oleh karena itu, meskipun kebenaran susastra dapat ditemukan pada sudut-sudut ideologis (talwin) seperti puitika atau sinematik dalam sebuah sinema, maka ia akan menyentuh relung-relung universal (takwil) pada setiap orang, suku-bangsa, ras, atau bahasa.
Perhatian susastra di Indonesia tidak juga mengalami kemajuan, karena masih sibuk pada persoalan-persoalan formal bentuknya. Pada persoalan-persoalan gaya bahasa. Termasuk, pada persoalan-persoalan bahasa itu sendiri, terutama pada aspek sakralitasnya. Pada taraf sakral ini, susastra tidak berkembang. Kalaupun terpaksa dikatakan berkembang masih memerlukan proses interaksi yang lama karena harus melakukan upaya-upaya eksplorasi internal dan adopsi eksternal. Bentuk yang rapuhpun belum mampu menghadirkan susastra yang benar-benar memiliki pijakan kuat kecuali harus meminjam. Pada tataran teoretis, susastra Indonesia belum mampu mengakomodasi dari perbedaan-perbedaan susastra yang dilatarbelakangi oleh asal kedatangannya. Dengan kata lain, susastra belum benar-benar mampu menghadirkan konstruksi yang memberikan banyak pemuasan pada aspek-aspek pengetahuan dan perkembangannya.
Maka, jangan heran, kalau susastra baru bisa dikatakan nyastra harus memenuhi syarat pergi ke lokalisasi atau menenggak minuman keras terlebih dahulu. Padahal, hal itu cuma perkara teknis saja. Untuk tidak dikatakan susastra “sok suci”. Kalau masih saja meributkan hal itu, maka apa bedanya? Susastra tidak ada kait mengait antara suci dan tidak suci. Tidak ada urusan!
Cirebon, 2 Juni 2022.