Proses bersastra sama dengan bertarekat. Ujung-ujungnya, kembali kepada personal, individu. Sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Abdul Qadir Al Jilani, mursyid tertinggi seorang salik (pelaku ruhani) adalah Allah Taala itu sendiri. Kalau sudah wushul, mursyidmya langsung Allah. Sementara mursyid-mursyid yang ada dan menyejarah, mereka hanya mengantarkan saja, karena pernah menempuh dan melalui jalan menuju kepadaNya. “Demikian pula susastra, sifatnya juga personal dan individual. Itulah genre mereka,” ungkap Abah Amin (KH Amin Abdul Hamid), pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum, Tegalrejo, Kendal, Ngawi. “Seorang sastrawan kalau sudah master di bidang susastra, dia tidak perlu guru lagi. Tidak perlu warna kelompok dan aliran.
Ini, langkah-langkah ini perlu dibaca sebagai pengantar sebelum memasuki dunia susastra atau tarekat.
Jadi, ketika berbicara tarekat atau susastra tidak rame sak karepe dewe. Perlu ada kuliah pengantar yang benar,” tegas Abah Amin.
“Problem susastra dan tarekat di Indonesia itu mengalami peristiwa dan sejarah yang sama, diawali oleh ketidaktahuan,” singgung Abah Amin, sosok yang istiqamah di pesantrenya itu.
Abah Amin sangat menyayangkan adanya aliran-aliran yang lebih mementingkan label dan warna baju, baik di dunia susastra maupun dunia tarekat. “Mereka melupakan esensi. Kalau bertarekat itu esensinya bertasawuf, capaiannya bisa berakhlak kepada Allah Taala. Lha, kalau antarkelompok tarekat saja sudah pada gelut, kapan bisa sampai pada tasawufnya? Ini fenomena sosial, lho, ya?” ungkap Abah Amin, lagi.
“Demikian pula dunia susastra kita. Miris! Ada susastra Islami, ada pula susastra nonislami. Ya, itu pekerjaan kolonial yang suka bikin kotak-kotak itu. Tingkat moderasi kita semestinya sudah harus lebih baik. Jauh lebih dewasa. Biarlah polemik susastra masa lalu menjadi mimpi buruk bagi generasi tua yang tidak pernah bisa move on. Generasi milenial tidak boleh terlibat, karena punya sejarah sendiri. Sejarah generasi tua adalah milik mereka, begitu pula generasi kekinian.”
Abah Amin, penggemar lagu-lagu Didi Kempot dan Denny Caknan itu, melihat perkembangan tarekat dan susastra kurang dinamis. “Ya, apatis. Akhirnya, masyarakat kita akan apatis, baik kepada susastra maupun tarekat, karena muak. Capaiannya gelut, merasa lebih baik antara satu dengan yang lain. Hal ini tergambar dari wacana-wacana yang berkembang saat ini. Ini bukan salah generasi sekarang, tapi generasi tua yang belum bisa move on dan takut kehilangan panggung.”
Dari sudut pandang ini, Abah Amin mengajak kembali kepada titik tolak tarekat dan susastra itu sendiri, personal dan individual. Sosok individu dalam mengenal dan mencari Tuhan, dia disebut bertarekat. Pada titik ini, sosok individu tidak mengenal jubah atau aliran apa yang dijalaninya. “Pokoknya berjalan.” Demikian pula bersusastra, pokoknya nulis saja, berkreasi saja. “Titik tolak sejarah kita sudah sengaja dikaburkan sehingga belum menemukan sesuatu yang baru selain ribut masalah warna dan baju. Ribut masalah genre dan aliran.
Itu! Praktik-praktik bersusastra dan bertarekat kita sudah salah sejak awal. Bersusastra, kita tak mau melepaskan diri dari ikatan-ikatan susastra Barat yang mestinya bisa menjadi hubungan ketersalingan sebagai salah satu sumber inspirasi saja. Begitu pula dengan ber-Islam, kita belum bisa bebas dari keislaman orang-orang suku-bangsa Arab. Padahal, masing-masing punya latar belakang sejarah sendiri-sendiri.”
Mengutip dari Buya Said (KH Said Aqil Siroj), orang-orang suku-bangsa Arab itu sesuai namanya. Arab itu diambil dari kata ‘arab” yang berarti sebutan bagi kendaraan yang mobile, terus bergerak. Terus berubah dan berinovasi. Jadi, kendaraan seperti mobil itu namanya arab, bukan “sayyarah” sebagaimana dimengerti oleh orang-orang Indonesia. Arab itu bisa berubah (derivasi) seperti “i’rab” atau “mu’rab” dalam bentuk kata bahasa Arab. Mereka seperti angin yang cepat berubah, tidak memiliki pijakan. Apalagi tanah air. “Lha, karakter ini malah disamakan dengan orang-orang suku-bangsa Indonesia yang tercipta dari tanah liat. Orang Arab sekali marah, sekali sudah, rukun lagi. Di Indonesia, sekali marah, dendamnya bisa tujuh turunan,” jelas Abah Amin.
“Studi-studi moderasi bertarekat dan bersusastra ini harus terus digalakkan sehingga masyarakat kita jangan lagi mudah dibodohi,” tutup Abah Amin. “Baik bertarekat maupun bersusastra itu bisa tidak seragam. Jadi, ciptakan moderasi!”
Ngawi, 2 Juni 2022.