Ada sebagian orang berpendapat: kemukjizatan Nabi Muhammad saw hanyalah Al Quran, sementara yang lain dipandang sudah biasa terjadi sebagai fenomena alam biasa seperti membelah bulan atau Isra Miraj. Saintis bisa menjawab perkara-perkara ajaib tersebut. Dalam ceritanya, Buya Said (KH Said Aqil Siroj) menyebutkan, ‘Kalau sekadar Rasulullah saw bisa menyembuhkan mata Sayidina Ali, itu bukan mukjizat. Itu pernah dilakukan oleh Nabi Isa as. Kalau Rasulullah saw bisa membelah bulan dengan pedangnya, itupun juga bukan mukjizat. Nabi Musa as pernah membelah laut dengan memukulkan tongkatnya. Itu pernah dilakukan oleh Nabi Musa as.”
Tinggal Al Quran yang dipercaya mengandung keajaiban-keajaiban susastra, sebab dengan kandungan susastra yang tinggi Al Quran dapat mengalahkan ahli-ahli susastra zaman itu. Zaman Al Quran diturunkan.
Dengan demikian, susastra tinggi tersebut memiliki kekuatan dapat mengalahkan (i’jaz, اعجاز). Hanya saja, kekuatan di bidang apa sehingga dapat dikatakan sebagai mukjizat?
Otentikasi Kebenaran Al Quran
Bagi kalangan yang malas berpikir, mereka dengan cepat akan berlindung di balik kata iman. Untuk memahami, mengenal, dan merasakan mukjizat itu harus melalui iman. Kalau tidak iman, tidak bisa menemukan kemukjizatan Al Quran tersebut. Demikian alasan mereka.
Lalu, apakah kemukjizatan itu hanya berlaku bagi orang-orang yang beriman? Padahal, terang-terangan Al Quran terbuka untuk dibaca umum, termasuk orang-orang yang tidak beriman? Sebagaimana diungkapkan sendiri di dalam Al Quran;
– وَمَا تَسْـَٔلُهُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَٰلَمِينَ
“Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), kecuali hanyalah pengajaran bagi semesta alam.” (QS Yusuf: 104).
-وَمَا هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَٰلَمِينَ
Dan Al Quran itu tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam.” (QS Al Qalam: 52)
– إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَٰلَمِينَ
“Al Quran tidak lain merupakan peringatan bagi semesta alam.” (QS Shad: 87)
– إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَٰلَمِينَ
“Al Quran tidak lain merupakan peringatan bagi semesta alam.” (QS Al Takwir: 27).
Ayat-ayat Al Quran tersebut jelas menyebutkan kalau Al Quran berbicara kepada semua makhluk, baik manusia, jin, setan, gunung, laut, hewan, planet-planet, dan seterusnya. Tanpa terkecuali. Adapun ungkapan harus beriman terlebih dahulu baru percaya kepada kemukjizatan Al Quran; itu persoalan hidayah. Persoalan dalam bab pembahasan lain.
Yang jelas, jika memang kemukjizatan Al Quran itu ada dan ditujukan kepada orang-orang berakal tentu bisa dijawab dengan rasional-kalau Al Quran itu otentik benar. Dan, jika tidak bisa dijawab secara rasional, berarti kemukjizatan itu tidak ada, karena takut dikritik, tidak menyentuh aspek rasional, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, untuk percaya Al Quran itu otentik benar, seseorang tidak perlu beriman terlebih dahulu. Siapa tahu setelah dia berhasil menemukan otentikasi kebenaran Al Quran, dia lalu mendapat hidayah dan beriman?
Memahami Makna Al Quran
Pada intinya, jangan berhenti untuk bersemangat mencari kemukjizatan Al Quran. Sebab, kemajuan-kemajuan saintis tidak jarang ditemukan setelah membaca Al Quran, meskipun si pembaca tetap saja tidak beriman.
Membaca dan memahami Al Quran tentu tidak cukup berhenti di lisan saja. Membuat rumah tahfidh, lalu menghapal ramai-ramai. Tidak begitu. Atau, dibaca secara berulang-ulang kemudian mendapat hasil karomahnya, itu tingkatan kelas awam. Sebagaimana mantra-mantra selain Al Quran pun dapat pula menghasilkan keajaiban-keajaiban. Hal ini bisa terjadi.
Memahami Al Quran dan menemukan kemukjizatannya dapat pula dicapai sesuai dengan sunah Allah Taala. Dengan mengamalkan surat Al Waqi’ah misalnya atau surat-surat lainnya akan dimudahkan mendapat rezeki dan pertolongan dari Allah Taala. Cuma, untuk mendapatkan rezeki dan pertolongan itu tentu memerlukan washilah. Bisa saja Allah Taala menggerakkan hati seseorang untuk mengantar dan membawa rezeki dan pertolongan itu melalui tangan orang lain. Atau, dengan sebab Allah Taala mengutus seekor burung untuk menjatuhkan rezeki itu di hadapan hamba si pemohon itu. Sunnah Allah Taala berjalan melalui washilah tersebut.
Demikian, manusia tidak tahu melalui washilah (perantara) apa rezeki dan pertolongan itu akan berjalan sesuai dengan sunnahNya. Sehingga manusia pun sebaiknya melakukan usaha-usaha. Adapun usaha-usaha tersebut memerlukan ilmu dan pengetahuan.
Kembali kepada bahasan susastra. Apakah benar kemukjizatan itu melalui perantara susastra?
Sebelum memahami kemukjizatan Al Quran melalui susastra memang sebaiknya terlebih dahulu memahami, apa itu susastra? Sebagaimana Nabi Daud as dianugerahi suara yang merdu sehingga mampu mengajak bicara burung-burung. Di dalam Al Quran QS Al Naml ayat 16 telah disebutkan;
وَوَرِثَ سُلَيۡمٰنُ دَاوٗدَ وَقَالَ يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمۡنَا مَنۡطِقَ الطَّيۡرِ وَاُوۡتِيۡنَا مِنۡ كُلِّ شَىۡءٍؕ اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الۡفَضۡلُ الۡمُبِيۡنُ
Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud, dan dia (Sulaiman) berkata, “Wahai manusia! Kami telah diajari bahasa burung dan kami diberi segala sesuatu. Sungguh, (semua) ini benar-benar karunia yang nyata.”
Ungkapan Nabi Sulaiman as dalam ayat tersebut menggunakan kata “manthiq, منطق”yang artinya pikiran. Artinya, Nabi Sulaiman as tidak semata bisa berbicara, melainkan juga mewariskan kemukjizatan Nabi Daud as dalam memahami bahasa dan pikiran burung-burung. Kalau hanya bisa berbicara, mungkin Al Quran akan menggunakan kata “kalam, كلام’ atau “qawl, قول”, dan kata yang sepadan dengan itu.
Sehingga dengan ungkapan manthiq tersebut sebenarnya Nabi Daud as juga menguasai susastra atau setidaknya sebagai pelaku sastra (sastrawan).
Wallahul Musta’an.
Cirebon, 30 Mei 2022.