Catatan dari buku harian (diary) pada 27 tahun silam ini, Sabtu, 12 Februari 1994 M./ 1 Ramadlan 1414 H, merupakan memoar hari wafatnya Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar. Santri kinasih Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari dan pendiri Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng. Sosok yang dikenal luas karena memiliki disiplin yang tinggi untuk memajukan santri-santri penghapal Al-Qur’an di Indonesia. Tidak saja di lapangan tahfiz, melainkan pada keilmuan dan pengamalan dalam perilaku kehidupan. Slogan Beliau yang terkenal adalah hamilul Qur’an lafzan wa ma’nan wa ‘amalan. Orang yang hapal Al-Qur’an beserta makna dan pengamalannya.
Cerita ini didedikasikan oleh santri senior Beliau, K.H. Eddy Musoffa Izzuddin, yang sekarang menjadi hamalatul Qur’an di Yogyakarta melalui forum-forum pengajian dan pengabdian masyarakat, serta pengurus Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Yogyakarta.
———–
Tangis Awal Ramadan 1414 H
(Catatan harian dari rintihan seorang santri kepada sang kiyai).
-1-
Guru
Delapan tahun sudah engkau berenang dalam samudra lara
Iringan gelombang menerpa sampan ragamu
Namun layar citamu tetap tegak berkibar demi murid-muridmu, demi para santri generasi setelahmu
Walau sampan ragamu makin rapuh, asamu tetap menggelora antarkan kami anak-anakmu merapat di dermaga impian
Guru
Sepuluh tahun aku hidup dalam dekapan kasihmu
Dengan telaten kau suapi hatiku dengan butir-butir ilmu
Kau lukisi dadaku dengan kuncup-kuncup iman
Kau taburi jiwaku dengan kuntum-kuntum mahabbah Al-Qur’an
Guru
Masih terekam utuh dalam kisi hatiku
Mutiara-mutiara indah yang selalu meluncur dari bibir agung muliamu
Anak-anakku cintailah Al-Qur’an
Karena sebaik-sebaik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengamalkannya
-2-
Anak-anakku dekaplah erat Al-Qur’an Sebab tiada kafakiran bersama Al-Qur’an
Tiada kaya sejati tanpa Al-Qur’an
Anak-anakku
Al-Qur’an sesuatu yang paling agung di sisi Allah
Barang siapa remehkan Al-Qur’an Allah akan menghinakannya
Anak-anakku
Pondok MQ ini bukan milik saya
Tapi milik Allah
Karenanya pondok ini tidak akan bisa maju “zonder” bantuan kalian
Itulah sebagian kecil dari segudang petuah Sang Kyai yang terlukis indah di kanvas hatiku
-3-
Guru
Kau pergi dengan tergesa
Padahal kami masih ingusan
Kau tinggalkan kami dengan tak terduga
Padahal kami anak-anakmu masih butuh bimbingan
Namun semua rintihan ini tak berguna
Semua jeritan ini tak bermakna
Kuasa Tuhan di atas segalanya
Ajal hamba dalam genggaman-Nya
Guru
Kau telah pergi
Pulang ke pangkuan Ilahi Rabbi
Doa kami anak-anakmu selalu iringi jengkal langkah abadimu
اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه برحمتك يا أرحم الراحمين.
Kewafatan Cucu Menantu Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, sejak melanjutkan tugas belajar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aku setiap liburan kuliah selalu menyempatkan diri untuk “tabarukan” kembali ke MQ Tebuireng. Sebutan akrab Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an bagi kami santri-santri yang pernah mesantren di sana.
Waktu itu, setelah liburan selama seminggu di rumah orangtua di Blitar, Kamis, tanggal 10 Februari 1994, aku berangkat ke MQ Tebuireng. Dari Blitar kurang lebih jam 16.00 menuju Jombang.
Tiba di terminal Jombang, tanpa sengaja, aku bertemu dengan Cak Miftahurrohim Syarkun, kawan santri asal Tuban. Kami berdua bersama-sama menuju Tebuireng dengan naik bis umum “Hasti” jurusan Pare.
Penumpang bis sore itu penuh sesak dan berjubel. Maklum, hari sudah mulai gelap. “Bis terakhir” yang biasanya membawa penumpang terakhir pada pukul 21.00 dari Surabaya menuju Kediri. Aku dan Cak Miftahurrohim tiba dan menginjakkan kaki di bumi MQ kurang lebih pukul 20.30.
Pagi harinya, Jumat, 11 Februari 1994, bersama Cak Mabrur dan Cak Munawar, aku diajak “tanggapan-deresan” di rumah Pak Junaidi Hidayat di Kwaron. Istilah kami untuk majelis pendaras Al-Qur’an 30 juz sekali khatam. Biasanya, terdiri dari 3 atau 5 orang anggota.
Menjelang Ashar, doa penutup, khatmil Qur’an, dilantunkan. Selesai ramah tamah bersama tuan rumah secukupnya, kami pun pulang ke MQ Tebuireng sambil membawa berkat dan sesuatu yang diselipkan.
Jumat sore, 11 Februari 1994, itu pula, kurang lebih jam 16.30, kami naik mobil Banpres pesantren bersama Gus Didik (K.H. Abdul Hadi Yusuf), Cak Kafi, Cak Zainal, dan Cak Mabrur bergegas berangkat menuju RSUD Jombang untuk membesuk Hadratussyekh Yusuf yang sedang dirawat.
Sesampai di RSUD, hatiku tersentak dan menjerit, saat kedua bola mataku menatap sebujur tubuh terlentang lemah di atas ranjang. Tarikan nafasnya berat, mengalir bersamaan dengan tetesan-tetesan infus, menggambarkan: betapa berat beban coba yang harus Beliau tanggung dan rasakan.
Hadratussyekh Yusuf sakit sudah sejak tahun 1986. Secara bergantian dengan tamu yang lain dan penuh rasa tawadlu’, aku lafalkan kalimat tauhid persis di samping telinga Beliau. Dengan perasaan mengiba dan pasrah yang total, hatiku pun berbisik; “Ya Allah, berikan jalan yang terbaik untuk Pak Kyaiku.”
Malam itu, suara petir menggelegar, bersahutan. Hujan deras turun disertai angin kencang. Suasana RSUD Jombang yang sejak sore terlihat tenang dan nyaman, tiba-tiba sepi dan mencekam. Listrik mendadak padam. Membuat hati dan pikiran tak menentu. Hingga tak lama kemudian, jenset penggantipun dinyalakan.
Malam itu, di ruang VIP, tempat Hadratussyekh Yusuf dirawat, sudah ada Bu Nyai Ruqayyah, Gus Didik, Gus Ghofar, Gus Ishom, dan sanak keluarga yang sempat berkumpul. Kami semua tidak henti-hentinya melafalkan kalimat-kalimat thayyibah. Bu Nyai Ruqayyah, yang kurang lebih sudah 8 tahun dengan setia dan sabar mendampingi Hadratussyekh Yusuf dalam keadaan sakit, menampakkan wajah pasrah. Ketabahan dan kebesaran jiwanya terpancar jelas dari kedua bola mata Beliau.
Malam itu, sebenarnya ada keinginanku untuk menginap di RSUD Jombang. Tapi, rasa lelah yang sejak sore menghinggap, terus menyelinap dan merasuk, menguasai tubuhku. Sekitar jam 22.00 malam bersama Gus Didik, Cak Mabrur, dan Cak Kafi, aku kembali ke MQ Tebuireng.
Setelah sholat Isya dan Tarawih bersama Cak Mabrur, ternyata mataku tak kunjung terpejam. Aku tak tahu, kenapa rasa kantuk sejak di RSUD yang mulai menguasai diri, setiba di Pondok lenyap terbang entah ke mana. Jadilah malam itu, dengan teman-teman MTT (Majlis Tarbiyah wat Ta’lim/organisasi pengurus pesantren), kami ngobrol ke sana kemari, dengan tema yang beragam hingga larut malam.
Saat obrolan memuncak dan semakin memanas tentang sepak terjang Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid), kira-kira pukul 00.30, dengan agak tergopoh, Mbah Abul Khair datang. Suaranya bergetar dan menyatakan, “Bapak boten wonten, Pak Kyai seda.”
Mendengar kabar berita itu, telingaku bagai tersambar halilintar. Kabar duka itu telah merobohkan pilar-pilar jiwaku. Aku ingin menjerit sekaras-kerasnya. Tak terasa pipiku basah berlinang air mata. Hadratussyekh Yusuf yang dua jam berlalu masih sempat kuraba halus kulit tubuhnya, harus pergi meninggalkan kami anak-anak dan santri-santrinya. Ia pergi jauh dan jauh, menuju istana abadi milik-Nya. Istana yang sudah lama merindukan kehadirannya.
Malam itu, beserta beberapa teman, kami berbagi tugas untuk menyampaikan ikhbar kewafatan Hadratussyekh Yusuf kepada tokoh-tokoh di lingkungan Tebuireng. Aku bersama Pak Hamim Supaat, guru madrasah, diberi mandat untuk menyampaikan kabar duka itu kepada K.H. Syansuri Badawi, K.H. Ahmad Musta’in Syafi’i, dan beberapa yang lain.
Pagi harinya, ribuan pelayat dari berbagai penjuru pulau Jawa secara bergelombang, menyampaikan ucapan belasungkawa dan penghormatan. Datang mendoakan Hadratussyekh Yusuf dan puluhan kali berulang, sholat jenazah ditunaikan secara bergantian.
Usai sholat jenazah terakhir, sebelum Hadratussyekh Yusuf dimakamkan, K.H. Syansuri Badawi menyampaikan sambutan singkat, sebagai kesaksian perjalanan panjang perjuangan almarhum di lingkungan Pesantren Tebuireng. “Kyai Yusuf Masyhar lah yang mempelopori berdirinya sekolah Mualimat di Cukir. Sebagai seorang ahli Al-Qur’an, Kyai Yusuf Masyhar juga mempunyai cita-cita untuk mendirikan sebuah lembaga yang secara spesifik mendalami Al-Qur’an dan perangkat ilmu-ilmunya. Setelah perenungan yang panjang, pada tahun 1971, berdirilah Madrasatul Qur’an,” jelas Kyai Syansuri, ulama ahli Ushul Fiqih dan juga santri pilihan Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari.
Kira-kira jam 11.00 siang, dari masjid MQ Tebuireng, jenazah Hadratussyekh Yusuf ditandu menuju maqbarah. Dengan diiringi kalimat tahlil para santri dan pelayat, suara tersendat di antara isak tangis dan derai air mata, semua yang hadir merasa kehilangan atas kepergian Beliau. Kyai yang sangat dicintai oleh para murid itu telah pergi dan tak pernah kembali. Wajah mulia penuh wibawa itu telah hilang dari pandangan para santri. Sorot mata yang penuh kasih sayang kepada kami, semua telah tertutup untuk selama-lamanya, pulang ke haribaan Ilahi.
Hadratussyekh Yusuf dikebumikan di makam keluarga, persis di barat masjid MQ Tebuireng yang waktu itu masih berupa hamparan sawah. Sugeng tindak Hadratussyekh Yusuf. Selamat jalan. Engkau bahagia di tempat yang mulia bersama Al-Qur’an. Engkau bahagia berada di taman surga, bersama para Nabi, Rasul, dan kekasih Tuhan. Amin. Lahul Fatihah.
MQ Tebuireng; 12 Februari 1994.