Allah Ta’ala telah berfirman di dalam Al-Qur’an surat An-Naba’ ayat 11 yang berbunyi;
وَجَعَلۡنَا ٱلنَّهَارَ مَعَاشٗا
Dan Kami telah menjadikan siang guna mencari penghidupan.
Siang adalah waktu yang kadangkala dinanti dan kadangkala pula tidak. Itulah yang dirasakan oleh kami, santri-santri MQ Tebuireng, di tahun 1996 ketika masih menjadi santri “anyaran”. Siang adalah manakala gerbang pesantren terbuka sampai tiba waktu, jam 5 sore. Siang bagi kami adalah waktu terbebas untuk menata kegiatan-kegiatan sore, malam, dan pagi hari.
Bagi para santri yang sudah memasuki jenjang tahfiz (boleh menghafal), waktu siang terasa begitu panjang. Karena, bisa keluar bakda zuhur dan bisa kembali lagi pada jam 5 sore. Sedangkan bagi santri yang masih “bin nadhar”, mereka harus kembali pada waktu Ashar untuk berjamaah di masjid MQ dan melaksanakan setoran setelahnya. Di Tebuireng, terdapat tiga buah masjid besar, tetapi satu yang digunakan untuk menyelenggarakan sholat Jum’at, masjid kasepuhan yang didirikan sejak masa Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari. Masjid kasepuhan tersebut digunakan oleh orang sekampung beserta santri-santri pondok pesantren di seputaran Tebuireng, meskipun jama’ah yang sholat membludak hingga ke pelataran halaman.
Diakui atau tidak, para santri MQ Tebuireng dalam pendapatku terbagi ke dalam kategori berikut; Pertama, kusebut Santri Petarung.
Mereka adalah santri-santri yang setelah makan siang di Jasaboga (Jabo) terus melanjutkan langkah untuk “bertarung” melawan kemalasan. Mereka terbagi dalam dua aliran. Aliran pertama adalah mereka yang mendaras Al-Qur’an di “maqbarah” Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari. Mereka mengaji dan berjamaah sholat Ashar di sana. Mereka kembali menjelang tutupnya gerbang pondok. Aliran kedua adalah mereka yang mendaras Al-Qur’an di masjid MQ dan “maqbarah” Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar. Mereka berada di dalam lingkungan pondok, lebih dekat, dan lebih “adem”, karena angin sawah saat itu terasa begitu kencang, berayun ke dalam masjid. Kedua aliran tersebut merupakan kader-kader bakal calon kyai pesantren di masa depan.
Kedua, Santri Pewarung. Inilah kategori santri terbanyak, namun bukan berarti sangat banyak. Santri tipikal ini adalah mereka yang keluar untuk sekadar melepas penat belajar dan mengaji. Kadang sekadar menonton televisi, ataupun juga “jama’ah” pecinta kopi. Jika piala dunia disiarkan pada siang hari, maka akan terjadi lonjakan besar santri pada kategori ini. Seluruh warung akan penuh sesak dan ramai. Meskipun yang membeli kadang tidak seramai penontonnya. Yang penting nonton bareng.
Santri kategori kedua ini sama, banyak menghabiskan waktu mereka di warung-warung terdekat di sekitar pondok. Dan, biasanya, mereka masuk di waktu “injury time” gerbang pondok ditutup, sambil berlari-lari kecil begitulah.
Ketiga, Santri Pemurung. Model santri yang begini bukan murung yang diartikan kesedihan. Tapi, lebih kepada kegiatan mereka yang datar-datar saja. Bayangkan, setelah dari Jasaboga, mereka menuju kamar masing-masing atau ruang kelas terdekat untuk melanjutkan sebuah rutinitas umum manusia, tidur. Walaupun dengan selembar sajadah, mereka bisa tertidur nyenyak di sana. Karena, khusus di kamar, biasanya terdapat aturan tak tertulis: yang tidur banyak akan mendapat sambutan, “Woi… Jendela tutup woi, ulap!”
Keempat, Santri Pesarung. Yang ini agak rahasia. Di siang hari, ada beberapa santri yang juga memakai sarung, tapi sarungnya “terlihat” agak lain dari biasanya. Agak “gemuk”. Ternyata ini adalah kategori santri yang pandai “kamuflase” di depan aparatur keamanan pondok. Mereka memakai celana di balik sarung mereka. Tujuan mereka jelas bukan tujuan jarak pendek. Minimal, mereka akan naik angkutan kota untuk pergi jauh. Santri tipikal ini bukanlah santri yang “nakal”. Mereka hanya memiliki tujuan yang jika diketahui orang, dirasa kurang “etis”. Untuk kategori ini, aku yakin banyak yang pernah mengalaminya.
Akhirnya, siang hari memang waktu ketika manusia merasakan lelahnya. Namun, semalas dan selelah apapun, jika niat dan “himmah ‘aliyah” (semangat tinggi) sudah tertancap, maka mengaji adalah pilihan terbaik bagi seorang santri saat itu. Maka, benarlah yang didawuhkan oleh K.H.Fauzan Kamal dulu, “Santri ketika di pondok khatam berkali-kali itu sudah biasa, sudah memang cocok, tapi yang luar biasa itu, sudah berkeluarga, tapi masih mampu menjaga istiqomah mengajinya.”
“Allahumma ma’al Qur’an”.