Keberkahan bisa datang dari mana saja. Keberkahan merupakan bertambahnya kebaikan (زيادة الخير). Demikian, ulama memberi pengertian definitif tentang berkah atau keberkahan.
Obat Bagi yang Jauh
Setiap orang memiliki idealisme sendiri-sendiri. Ada yang bilang membaca jauh lebih baik daripada menulis, karena menyimpan kebijaksanaan-kebijaksanaan. Hal ini beranggapan, karena setiap orang di zaman digital seperti saat ini bisa menulis apa saja, termasuk sumpah serapah. Tapi, kebebasan menulis demikian tidak dapat dibendung kecuali semua perangkat di-take down.
Ada pula yang beranggapan kalau menulis lebih baik daripada membaca. Artinya, memulai untuk belajar menulis. Karena, menuangkan ide ke dalam kata itu tidak mudah. Tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Masih untung orang-orang zaman dahulu tidak malas menulis surat untuk berbagi cerita dan bekabar. Tidak semudah zaman sekarang manakala komunikasi dua atau lebih arah bisa dibantu oleh alat perekam suara.
Memang, di zaman yang serba mudah saat ini, menulis menjadi pekerjaan mewah di samping juga dapat bertele-tele. Lagi pula, kerinduan sudah seperti hambar karena kata demi kata sudah sangat murah.
Writer, Producer, and Director
Menjadi penulis itu tidak mudah. Meskipun sudah banyak pelatihan-pelatihan menulis, tapi tetap saja sulit. Namun, patut disayangkan, begitu banyak momok mitologis yang dikabarkan kalau menulis itu memang sulit.
Pada akhirnya, menulis adalah pekerjaan nasib, bukan lagi bakat atau talenta. Seseorang akhirnya mengambil pekerjaan menulis karena memang nasibnya mengharuskan dirinya menjadi penulis. Walaupun kemudahan lagi seperti menuangkan suara dapat langsung disalin menjadi tulisan.
Kondisi sosial memang sering diabaikan di dalam menilai idealisme. Untuk Indonesia yang belum benar-benar melek di dunia tulis menulis, kemudian ditimpa oleh budaya tonton seperti saat ini, akan sulit mengatakan kalau membaca jauh lebih bijaksana. Kebiasaan itu memerlukan proses dan interaksi.
Jadi, bukan persoalan pada menulis lebih baik daripada membaca atau sebaliknya, melainkan pada kebiasaan itu. Menulis jika menjadi kebiasaan masyarakat akan menjadi baik. Ada banyak dalil dalam kitab suci Al Quran yang menyebutkan tentang tulisan (كتب), mulai dari ayat kwitansi sampai sebutan Ahl Al Kitab. Begitu pula dalam membaca, Al Quran menyebutkan;
فاقرؤا ما تيسر من القران.
Secara bebas diartikan, “Bacalah hal paling mudah dari Al Quran.” Bukan bacalah yang paling sulit dan njelimet. Jika mau jujur kalau Al Quran (القرآن اى الذي يقرأ منه) hanyalah sebutan kognitif, bukan dalam sebuah pengertian yang luas. Jika yang dimaksud adalah bacaan secara luas, maka Al Quran bukan saja yang tertulis, melainkan juga yang tidak tertulis. Apalagi jika berkaitan dengan Al Quran di Lauh Mahfudh. Jangkauan itu sangat jauh untuk disentuh, bahkan sangat abstrak.
Pekerjaan menulis memerlukan ketelitian, memerlukan logika, karena ia akan mengikat yang abstrak menjadi konkrit. Sejak kecil seseorang sudah dikenalkan dengan banyak bacaan, sebanyak materi yang dikenal di alam semesta. Walaupun membaca sendiri tidak melulu berkonotasi “bacaan buku”. Ia bisa membaca setiap yang dilihatnya.
Berbeda dengan menulis yang memerlukan latihan, ketelatenan, kontinyu, ketelitian, dan tentunya pemahaman yang tidak melanggar etika logika. Memang benar, menulis bertujuan agar bisa dibaca oleh orang lain. Tidak untuk kesalehan pribadi. Menulis menjadi sarana dan wahana untuk saling bertukar pikiran secara lebih konkrit agar tak menimbulkan bias. Sebelum orang diajak membaca tulisan, tentu ia harus terlebih dahulu menguasai teknik penulisan. Jika tidak, maka ia hanya akan bersikap pasif. Iya, kalau ternyata bijaksana, kalau pasif?
Tetap saja, menulis adalah pekerjaan yang mahal.
Wallahul Musta’an.
Cirebon, 18 Juni 2022.