Selama ini Al Quran hanya dibaca untuk mencari dalil agar bisa mengafirkan dan menjustifikasi pihak lain dengan alasan sebagai sumber hukum. Sehingga masih jarang ada yang membaca Al Quran sebagai kitab susastra. Padahal, ada banyak tamsil yang bisa diambil darinya.
Apalagi Al Sunnah (السنة اى الذى يسن) yang sering dipahami secara tekstual sehingga terkesan kaku dan antitoleran. Padahal, sebagai penjelas kitab suci Al Quran, Al Sunnah atau Al Hadis (yang tertulis) telah merekam jejak-jejak Rasulullah saw sebagai makhluk dan dokumen sejarah yang dapat menjadi kerangka berpikir umat Islam di dalam merefleksikan dan mencerminkan keislaman.
Keistimewaan Al Quran yang dijelaskan oleh hadis-hadis Rasulullah saw, serta kitab-kitab yang ditulis oleh tangan-tangan ulama yang suci, ikhlas, dengan niatan baik, telah menarik minat untuk dibaca secara susastra. Umat Islam sering mengilustrasikan kalau Al Quran adalah ayat-ayat (tanda-tanda) Allah yang tertulis (الكتاب اى الذي يكتبه) serta dunia dan alam semesta adalah ayat-ayat (tanda-tanda) Allah dalam rupa kauniyah keberadaan.
Parasufi, merujuk kepada sebuah hadis Qudsi, membagi alam menjadi empat bagian: alam syahadah, alam malakut, alam jabarut, dan alam ilahiah. Keempat alam yang penuh dengan tanda-tanda “keberadaan” Allah dijelaskan dan ditulis ke dalam sebuah kitab suci yang ringkas, Al Quran. Sehingga memerlukan tahapan-tahapan khusus untuk mengenalnya. Pengenalan terhadap alam ini memerlukan cara-cara khusus yang disebut thariqah.
Thariqah tidak sesat sebagaimana sering difitnahkan banyak orang. Thariqah yang benar senantiasa mendapat pancaran dan bimbingan dari cahaya Ilahiah. Pengalaman di dunia dan alam semesta sebagai alam syahadah (alam yang bisa disaksikan dengan kasatmata) tanpa disinari dan mendapat bimbingan dari cahaya Ilahi hanya akan berjumpa pada fatamorgana-fatamorgana yang menipu. Thariqah membimbing jalan menuju cahaya Ilahi agar tak tertipu oleh kesemuan alam syahadah sehingga mengenal hakikat batinnya.
Demikian pula, thariqah juga mengajak kaum mukmin untuk menyaksikan ayat-ayat (tanda-tanda) Allah pada alam batin selanjutnya, alam malakut yang dihuni oleh jin-jin mukmin dan paramalaikat. Alam ini hanya bisa dikenali melalui thariqah yang benar. Meyakini dan mengimani adanya ayat-ayat (tanda-tanda) Allah melalui alam malakut ini sama seperti disebutkan oleh Al Quran sebagai alam ghaib. Wajib bagi setiap mukmin untuk mengimami alam ghaib ini.
Tapi, alam ghaib ini tidak bisa disamakan dengan alam khayali yang penuh godaan-godaan. Alam ghaib yang benar adalah yang selalu dalam lindungan, bimbingan, dan kesertaan Allah Taala.
Alam selanjutnya sebagai ayat-ayat (tanda-tanda) adanya Allah Taala adalah alam jabarut. Alam paranabi dan kaum muslimin yang sholeh-sholehah. Alam ini sangat dekat kepada Allah Taala. Sementara paranabi dan rasul serta kaum muslimin yang sholeh-sholehah mendapat posisi alam yang lebih tinggi dari penghuni alam malakut, karena kemuliaan mereka.
Alam Ilahiah merupakan alam perjumpaan hamba dan Allah Taala. Alam yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Paraulama sepakat kalau kitab suci Al Quran ada yang tertulis di Lauh Mahfudh (tak terlihat mata) dan ada yang tertulis oleh tangan manusia. Yang tertulis oleh tangan manusia ini yang bisa dipegang dan dibaca oleh umat Islam di seluruh dunia.
Gambaran isi kitab suci Al Quran yang tertulis oleh tangan manusia merupakan ringkasan keempat alam yang tersebut di atas. Sehingga bisa dikatakan dilihat secara lahir seperti google di era sekarang. Bisa di-searching kapan dan ke mana saja. Bedanya, jika google dapat di-searching dengan pancaindera, maka Al Quran hanya bisa di-searching dengan hati yang bersih.
Dengan demikian, google is a replace of the Quran. Al Quran is the meta data.
Jika seluruh isi data Google diringkas lalu dibahasakan dengan susastra, ya itulah Al Quran. Hanya batin yang suci yang dapat menembus dan melampauinya hingga bertemu Allah Taala. Batin yang suci itu hanya bisa didapat melalui thariqah yang benar.