Yang disuka darinya adalah kelugasan, tanpa tedeng aling-aling. Tidak membeda-bedakan teman. Mau berbagi suka dan duka. Akrab pada semua kalangan.
Putera Lampung ini memang dikenal “grapyak” menurut istilah orang Jawa. Ia bisa masuk ke mana saja dan tidak gengsian. Pekerjaan sepele bisa dikerjakan dengan tuntas. Rapi dan tegas, bakat kepemimpinannya muncul secara alami.
Menjadi politisi mungkin hanya sebagai salah satu cara baginya untuk menyalurkan hasrat. Hasrat mengabdi. Itu pikiranku, yang jelas Bujung, demikian kami biasa memanggilnya, lebih tahu yang sedang dipikirkan olehnya. Bujung sejak dari mahasiswa sudah aktif di organisasi pergerakan, jadi wajar jika NU menjadi wadah, rumah besar, dan tarekatnya.
Aku mengenalnya sejak masih mahasiswa. Aktivitasnya memang padat. Jarang pulang ke kost, tempat tinggal kami. Sekali pulang ke kost selalu ada yang diperbuat olehnya.
Aku sedikit banyak belajar langsung darinya, terutama di dalam menghargai sahabat. Bujung tidak pernah menampakkan wajah kesusahan, meskipun dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi dirinya. Dia selalu menjadi tumpuan, tidak hanya kami, melainkan juga sahabat-sahabat satu organisasi yang acap menandanginya. Kata yang selalu menyertai ringan tangannya adalah “boleh”. Setidaknya, kata itu tidak sampai menyinggung dan melukai sahabat bicara.
Pertemuan terakhir dengannya belum lama. Sekadar melepas rindu karena lama tak berjumpa. Aku pernah tandang ke rumahnya ketika dirinya akan dilantik sebagai anggota DPRD Provinsi Lampung. Tiga kali ia coba bertarung habis-habisan dan gagal. Sekali itu, ia jadi dan duduk di parlemen tingkat wilayah itu. Terakhir, Bujung menekuni bisnis cangkang sawit setelah purna tugas di DPRD Lampung. Bisnis yang tak umum dan ia sempat kehilangan uang tiga puluh juta rupiah dari teman yang belum lama dikenal olehnya. Tapi, begitu. Bujung selalu “enjoy” dan cenderung apatisme. Jatuh bangun baginya adalah hal biasa. Di-sliding teman seperjalanan sudah biasa. Baginya, kalau tak mau mengambil risiko terbakar, jangan sekali-kali bermain api. Begitu kira-kira dalam pendapatku.
Wajah itu selalu mengulas senyum dan tawa walau tidak sedikit puisi-puisi melankolis yang tertulis. Selama menempuh perjalanan itu, Bujung katakan sebagai “pencarian”. Setiap langkah dan detik tercatat baik dalam kumpulan-kumpulan “diary”-nya. Pengalaman yang tercatat walau kadang menyakitkan. Tidak heran. Bujung adalah seorang Syadzilian yang taat. Dia rajin berziarah untuk menyandarkan bebannya kepada arwah leluhur, terutama penyebar Islam, baik di wilayah Lampung sendiri maupun pulau Jawa pada umumnya. Pengalaman spiritualnya sangat menarik untuk seorang pencari, salik, seperti dirinya.