Orang-orang zaman dahulu menuntut ilmu tidak terbatas pada ruang dan waktu yang sama. Mereka melintasi jejak langkah yang panjang, terkadang tidak surut karena berpantang.
Orang-orang dahulu akan mencari seorang guru yang mumpuni, tidak sekadar popularitas atas namanya, bahkan dari mereka yang “mastur”, tersembunyi. Dari merekalah, santri-santri kelana belajar
Pertama, mereka mengarungi padang bahaya yang panjang. Bahaya mengintai diri seperti Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang dirampok. Atau, Rabi’ah al-‘Adawiyah yang konon hingga diperkosa dan diperbudak. Sebelum menemukan kesejatian, mereka merasakan pahit getir yang pedih. Di bawah tekanan, bahkan cemoohan. Mereka belajar dari madrasah “tajribah”, sebelum masuk ke dalam madrasah-sekolah.
Kedua, di madrasah yang kemudian dikenal dengan sebutan sekolah. Sekolah diambil dari kata bahasa Yunani, skolastika. Tempat para sufi dan bijakbestari belajar menghimpun diri tenggelam ke dalam pengetahuan. Di madrasah ini, mereka sejati mendiami sebuah candradimuka. Kawah yang menempa diri dalam pengetahuan yang tunggal. Berdiskusi, berdebat, menulis, dan melukis dalam satu keterikatan persaudaraan seperti di pesantren-pesantren.
Namun sekali lagi, zaman telah berubah. Mencari ilmu bagaikan melukis di atas air. Begitu mudah mengalir.
Ibarat pisau bermata dua, ilmu yang datang pada hari ini, akan memberikan manusia pada dua pilihan; langsung memakainya atau berhenti sejenak sebelum kemudian meninggalkan atau tetap memakainya.
Begitu pula informasi dan riwayat yang diterima. Semua seakan begitu mudah didapat. Padahal, sebuah kaidah telah memberikan gambaran: “al-Ajr ‘ala qadar al-ta’b”. Balasan sesuatu itu berbanding lurus dengan kadar cara kepayahan dalam memperolehnya. Maka, lihatlah bagaimana cerobohnya manusia ketika membagikan sesuatu dengan tombol “Bagikan” itu.
Semua yang didapat dengan mudah, biasanya juga akan meluap atau hilang pula dengan mudah. Seorang teman saya semasa kuliah pernah memiliki kemampuan desain grafis di atas rata-rata. Namun sayangnya, kemampuan itu dipergunakan olehnya untuk membuat ijazah palsu atas nama kampus. Meraup untung banyak memang, tapi keuntungan tersebut hanya dapat digunakan untuk sesuatu yang sia-sia pula. Kalau dalam bahasa agamanya, tidak berkah.
Semoga ilmu yang kita dapatkan pada zaman ini, tidak sekadar mampir lewat, atau juga hanya sebagai penghias status dunia maya belaka. Karena, Allah begitu membenci mereka yang hanya mampu berkata, namun amnesia dalam mengerjakan. Tulisan ini adalah nasihat untuk saya pribadi, jadi tidak usah repot-repot mengingatkan saya lewat kolom komentar yang tersedia. “Mator sekelangkong”.
“Sugeng Injing Warkopers!”