Cara membaca Al Quran sebaiknya memang dipraktikkan di muka umum agar muncul keberanian dan terbiasa menjaga kebenaran di dalam mengasah hafalan. Namun, tidak semua orang berani melakukannya.
Proses menghafal lebih banyak didominasi dengan proses mengulang. Maka, mereka yang ingin cepat hafal, seharusnya juga mau mengulang-ulang. Yang beruntung, bisa cepat. Yang belum, intensitas mengulangnya ditambah. Sesederhana itu jika dituliskan. Namun praktiknya tidak.
Akhir-akhir ini bertebaran ajakan dan program untuk sebuah tujuan, hafalan yang (katanya) mutqin. Hingga detik ini, saya sendiri belum mendalami secara baik, apa arti dan definisinya. Namun secara awam (menurut saya), mutqin dimaknai lancar tanpa salah. Bahkan, disediakan banyak “panggung” dan pelatihan untuk mencapainya. Sebuah fenomena yang membuat saya sesekali tertarik, dan sesekali tak bergeming darinya.
Ada banyak faktor yang membuat saya ragu dengan istilah mutqin itu. Walau secara berkelakar, mungkin akan ada komentar begini, “Wong kamu gak mutqin, kok komentar tentang mutqin?” (Kamu saja tidak mutqin, kok, komentar tentang mutqin?).
Saya memaklumi, dan wajar saja. Hanya saja, jauh dalam benak saya, Al Quran terlalu mulia dan agung jika hanya “dikapling” dengan sebuah kata mutqin. Kalamullah hanya dibatasi dengan sebuah kepentingan panggung dan tendensius. Agak subyektif memang, tapi sampai detik ini, masih tergiang dawuh guru saya, K.H. Husnan Nafi’, “Wong masiyo ngaji e enak, lek niat e duduk kerono Allah, sing metu duduk Quran, tapi geni” (Orang, meskipun ngajinya enak, kalau niatnya bukan karena Allah, yang keluar bukan Al Quran, tapi api).
Perkara niat, itu jelas wilayah Allah, bukan wilayah saya. Silakan kembali pada diri masing-masing.
Kisah yang cukup menginspirasi adalah ketika ada sahabat yang setiap kali mengimami, hanya membaca “Qulhu” (surat Al Ikhlas) saja. Lalu, dilaporkan kepada Nabi.
“Dia dan “Qulhu”nya sampai ke surga,” jawab Rasulullah Saw.
Maka, godaan sebenarnya, bukan pada mutqinnya. Tapi setelah mutqin, apakah Anda akan meremehkan orang lain yang belum mutqin?
Jawabnya dalam hati saja. Karena tulisan ini, hanyalah sekadar pengingat bagi diri saya sendiri yang belum juga mutqin.
Akhi Fadli Ilmi