Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Saifuddin Zuhri Purwokerto menyelenggarakan Talkshow bertajuk “Islam dan Keindonesiaan” dengan narasumber Prof. Dr. Phil. M. Nur Kholis Setiawan, MA, intelektual muslim dan Guru Besar UIN Saifuddin Zuhri Purwokerto.
Perkembangan Islam di Indonesia melalui proses unik yang mempertemukan berbagai aspek dan melahirkan wajah agama baru. Sebagai ajaran ilahi, Islam di Indonesia berjumpa dengan sejarah, lingkungan fisik, dan manusia-manusia berkebudayaan yang ragam. Perjumpaan ini kemudian menjadikan tidak semua aspek Islam diterima sebagai kebenaran secara “given”, tetapi dalam beberapa hal melalui proses yang bersifat historis. Islam hadir lebih semarak dalam wajah yang bersahabat dan berpadu dengan nilai serta spirit keindonesiaan.
Seusai Talkshow, kepala Pusat Penelitian LP2M UIN Saifuddin Zuhri, Ahmad Muttaqin berkesempatan berbincang dengan Prof. Dr. Phil. M. Nur Kholis Setiawan, MA terkait pandangan-pandangannya tentang sejarah pendidikan Islam, ideologi nasional, dan politik luar negeri. Sebagai seorang intelektual muslim yang progresif, pandangan M. Nur Kholis Setiawan berdasar kompetensi intelektualitas-akademik yang diperoleh dari latar belakang pendidikan yang beragam baik di dalam maupun luar negeri. Pendidikan dalam negeri ditempuh di Pesantren Tebuireng dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sementara di luar negeri, M. Nur Kholis Setiawan diperoleh di Belanda dan Jerman. Dalam usianya yang masih relatif muda, Pria asal Kebumen Jawa Tengah ini telah banyak memiliki pengalaman di dunia kerja dan profesionalnya. Pernah menjabat sebagai Inspektur Jenderal dan Sekretaris Jenderal Kemenag RI. Sebelumnya mengomandani publikasi ilmiah di Kementerian Ristekdikti.
Hasil perbincangkan disampaikan dalam wawancara berikut ini.
Ahmad Muttaqin:
Sampai hari ini, masih terdapat beberapa misteri tentang Soekarno yang belum sepenuhnya terurai. Status sebagai proklamator dan presiden pertama Indonesia mafhum oleh kebanyakan masyarakat, namun kejatuhannya yang dikaitk-kaitkan dengan sosialisame dan komunisme masih meninggalkan banyak pertanyaan. Benarkan Soekarno berpihak atau menjadi bagian dari komunisme? Atau, benarkah Soekarno tidak memiliki keberpihakan kepada agama (Islam)?
M. Nur Kholis Setiawan:
Menjawab dua persoalan di atas, perlu diajukan beberapa argumentasi, pertama, realitas masyarakat Indonesia zaman pergerakan dan kemerdekaan secara umum dapat diklasifikasi dalam 3 (tiga) kelompok strategis, yaitu pribumi yang mendorong akomodasi konsep genuin Indonesia dalam berbagai pembangunan terutama bidang dasar meliputi pendidikan dan ekonomi. Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara menjadi salah satu manifestasi konsep genuin dalam bidang pendidikan. Kedua adalah kelompok non koperatif yang didominasi oleh kalangan Islam tradisional (pesantren). Kelompok ini mendorong Indonesia mengakomodasi sepenuhnya model pendidikan pesantren yang saat itu menjadi pilihan utama masyarakat di tengah-tengah pergolakan melawan kolonialisme. Bahkan, keberadaan basis-basis perlawanan terhadap koloniaslme menunjukkan bahwa pesantren memiliki prasyarat yang memadai untuk menjadi model pendidikan nasional Indonesia. Ketiga kelompok elit atau tokoh pribumi yang memperoleh pendidikan modern dari kolonial yang mengkampanyekan model pengelolaan negara dengan cara mengombinasikan nilai-nilai nasional dengan modernitas ala Barat. Sistem politik, ekonomi, dan pendidikan mengacu pada praktik Barat yang telah terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan.
Sebagai presiden dari negara yang baru merdeka, Soekarno mendapat tekanan politik dari berbagai kekuatan internal untuk menerapkan sistem pengelolaan negara sesuai dengan kepentingan parsial masing-masing. Pilihan politik saat itu adalah mengakomodasi setiap kelompok mengingat Indonesia masih berada dalam situasi transisi pascamerdeka dari kolonialisme. Selain dari internal, tekanan politik juga datang dari kekuatan internasional yang mengerucut pada Blok Barat dan Blok Timur. Situasi dinamis yang cenderung konfliktual inilah yang kemudian menjadi konteks; bagaimanakah Soekarno mengambil keputusan-keputusan penting dalam bidang-bidang strategis pengelolaan Negara?
Ahmad Muttaqin:
Bagaimana dengan isu keislaman Soekrano? Pertanyaan ini muncul dari keraguan bahwa Soekarno tidak memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam terutama apabila dikaitkan dengan pengembangan pendidikan agama. Sementara kita ketahui bahwa kelompok Islam memiliki kontribusi besar terhadap kemerdekaan Indonesia.
M. Nur Kholis Setiawan:
Regulasi tentang pendidikan di Indonesia untuk pertama kali diatur melalui UU No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Sebagai presiden, Soekarno membutuhkan + 5 (lima) tahun untuk mengundangkan regulasi tersebut sebagai dasar pemberlakuan pendidikan secara nasional. Berapa hal kunci dalam UU No. 4 tahun 1950 adalah terkait dengan jenis pendidikan, penyelenggaraan sekolah, guru dan murid, dan pengajaran agama di sekolah negeri. Dari beberapa pengaturan dalam UU tersebut, pasal penting yang mendasari bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi adalah dalam pendidikan adalah pengaturan tentang penyelenggaraan sekolah. Pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa masyarakat melalui lembaga dapat menyelenggarakan pendidikan yang disebut dengan sekolah partikulir. Pengaturan ini didasarkan pada ketentuan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kebebasan menganut agama dan keyakinan sehingga perlu mendapatkan kesempatan memadai untuk menyelenggarakan pendidikan secara mandiri sesuai karakteristik masing-masing (pasal 13).
Ketentuan ini menjadi dasar bagi lembaga-lembaga nonpemerintah seperti organisasi sosial keagamaan untuk mengembangkan model pendidikan yang merepresentasikan karakter dan ciri khasnya. Dalam konteks Islam, ketentuan sekolah partikulir menjadi dasar bagi pendirian madrasah sebagai pendidikan formal yang bisa disejajarkan dengan jenis-jenis pendidikan nasional meliputi pendidikan kanak-kanak, pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal 6). Melalui UU No. 4 tahun 1950, Soekarno menjadi tokoh utama yang menetapkan madrasah sebagai bagian sistem pendidikan nasional pada saat Menteri Agama dijabat oleh K.H. Abdul Wahid Hasyim.
Melalui pola ini maka bisa diklaim bahwa Soekarno memiliki keberpihakan yang tinggi terhadap Islam melalui kebijakan tentang penyelenggaraan madrasah. Diksi sekolah partikulir adalah untuk mengakomodasi keragaman agama dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemilihan diksi partikulir ini sangat moderat di tengah situasi transisional pascakemerdekaan yang belum stabil. Secara politik, pengaturan sekolah partikulir akan memberikan keuntungan yang besar bagi umat Islam sebagai mayoritas untuk menyelenggarakan pendidikan mandiri. Kelompok Islam nonkoperatif kemudian memanfaatkan kebijakan ini secara massif melalui pendirian-pendirian madrasah dan saat bersamaan bisa diterima oleh kelompok nonmuslim. Soekarno dan K.H. Abdul Wahid Hasyim menjadi dua tokoh penting yang berkontribusi menetapkan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
Ahmad Muttaqin:
Salah satu konsep sentral Soekarno adalah Nasionalisme, Agamis, dan Komunisme (Nasakom). Konsep ini belakangan dijadikan dasar oleh beberapa kelompok untuk membangun narasi bahwa Soekarno memiliki kaitan erat dengan komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Narasi ini memperkuat kesan bahwa Soekarno setengah hati menumpas GS 30 September. Bagaimana pandangan anda?
M. Nur Kholis Setiawan:
Dalam konteks ideologi, Indonesia masa pergerakan melawan kolonialisme memiliki 3 (tiga) kelompok strategis yaitu tentara, muslim nonkooperatif, dan massa pribumi. Ketiga kelompok tersebut memiliki afiliasi politik dan ideologi berbeda yang apabila ditarik kepada garis puncaknya menggambarkan konflik dunia. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia pada awal-awal kemerdekaan menjadi ruang kontestasi ideologi-ideologi politik dunia untuk menanamkan pengaruhnya. Oleh karena itu, dibutuhkan respons elegan agar Indonesia tidak terpinggirkan oleh kompetisi global dan bahkan sekaligus bisa bertransformasi menjadi pioner utama. Strateginya kemudian adalah tidak berafiliasi kepada salah satu kecenderungan global tetapi mengampanyekan konstruksi baru melalui kombinasi ideologi-ideologi yang dikonsepsikan dengan Nasionalisme, Agamis, dan Komuniasme (Nasakom). Secara ringkas, konsepsi Nasakom bisa disederhanakan menjadi gotong-royong.
Konsep gotong-royong kemudian terejawantah dalam berbagai bidang penyelenggaraan pemerintahan. Dalam konteks dalam negeri, masyarakat memiliki keleluasaan untuk berpartisipasi dalam kontestasi demokrasi melalui partai-partai politik. Selain itu, ruang terbuka juga tersedia bagi masyarakat untuk berkontribusi membangun bangsa melalui pendirian lembaga-lembaga pendidikan, fasilitas kesehatan, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Sementara dalam konteks luar negeri, konsep gotong-royong terimplementasikan melalui sikap politik bebas aktif. Indonesia tidak terikat atau merepresentasikan salah satu kekuatan ideologi besar yang berkonflik, tetapi merupakan entitas merdeka yang bebas mengambil kebijakan politik luar negeri. Politik luar negeri bebas aktif merupakan sikap genuin Indonesia agar tidak ditarik ke dalam konflik ideologi dunia yang terjadi pada saat itu. Bersamaan dengan itu, Indonesia berkomitmen meningkatkan peran dan kontribusinya terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dunia. Politik bebas aktif menjadi strategi Indonsia untuk berproses menjadi negara yang berdaulat.
Melalui politik bebas aktif, Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno menjadi negara yang disegani di dunia internasional. Peristiwa misalnya Uni Soviet segera melakukan pembangunan makam Imam Bukhori di desa Hartang, Uzbekistan (dulu bagian dari Uni Soviet) atas permintaan Soekarno. Peristiwa lain yang menunjukan Soekarno sangat diperhitungkan di dunia internasional adalah keberadaan “Pohon Soekarno” di Padang Arafah. Pohon Mindi yang di Makkah dikenal dengan Pohon Soekarno berawal dari inisiatif Sang Proklamator untuk menghijaukan dataran Arafah dan pada saat pelaksanaan haji tahun 1960, Soekarno membawa langsung bibit pohon Mindi dari Indonesia. Bukti legendaris lainnya adalah inisiasi Soekarno menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung sebagai wujud semangat nasionalisme Asia dan Afrika dan pembentukan gerakan Non-Blok. Peristiwa terpenting bukti pengaruh Soekarno di dunia internasional adalah Pidato di Sidang Umum Majelis PBB tanggal 30 September 1960 berjudul “To Build the World a New” yang dipicu oleh kegagalan empat negara besar membangun kesepakatan untuk pengurangan senjata nuklir. Soekarno menawarkan sebuah tatanan dunia baru.
Pengertian Nasakom tidak dimaknai secara praktis sebagai ideologi baru yang dipromosikan terimplementasi oleh negara, tetapi sebagai idiom untuk mengakomodasi kelompok-kelompok ideologis agar tetap berada dalam komitmen mewujudkan keindonesiaan. Dalam situasi ini, Soekarno memerankan diri sebagai manusia yang memfasilitasi perjumpaan ideologi-ideologi mapan dunia yang terekspresikan dalam sikap-sikap politik kelompok dalam negeri. Proses perjumpaan bisa berlangsung secara dinamis meskipun dalam beberapa fase muncul ketegangan dan konflik-konflik kecil. Dari perjumpaan awal ini, Indonesia sampai hari ini mampu merawat keragaman dan menghasilkan sintesis-sentesis baru untuk mewujudkan perbaikan secara progresif.
Ahmad Muttaqin:
Terkait dengan penghapusan 7 kata dalam Piagam Djakarta yang sampai saat ini masih sering digunakan sebagai komoditas politik untuk menghadap-hadapkan antara nasionalisme versus Islam. Hal ini karena Piagam Djakarta dianggap merepresentasikan aspirasi umat Islam dan keputusan menghapus 7 kata tersebut adalah bentuk pengabaian. Sebagai keputusan politik, bagaimana sesungguhnya hubungan dan komunikasi Soekarno dengan ulama muslim?
M. Nur Kholis Setiawan:
Hubungan Sekarno dengan ulama muslim sangat erat. Beberapa peristiwa sebelum dan pascakemerdekaan menunjukan Soekarno memiliki hubungan yang dekat serta selalu menempatkan ulama pada posisi yang strategis. Pada persiapan kemerdekaan, komposisi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memasukan unsur ulama muslim jelas menjadi bukti bahwa Soekarno memiliki hubungan yang baik. Khusus dalam hal penghapusan 7 kata dalam Piagam Djakarta, Soekarno tidak serta-merta mengambil keputusan setelah menerima aspirasi dari Indonesia bagian timur yang menyatakan keberatan. Soekarno melalui Abdul Wahid Hasyim berkonsultasi dengan Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari merespon aspirasi dari Indonesia timur tersebut. Atas dasar restu yang diperoleh dari Hadratussyekh, Soekarno memutuskan untuk menghapus 7 kata Piagam Djakarta semata-mata untuk menjaga keutuhan Indonesia.
Dengan peristiwa ini menjadi jelas bahwa penghapusan 7 kata dalam Piagam Djakarta bukan merupakan keputusan politik mengabaikan atau mengingkari aspirasi umat Islam. Sebaliknya menunjukan sikap moderat dan strategis Soekarno untuk memberi jaminan bagi tumbuh berkembangnya kehidupan bernegara berbasis nilai-nilai religiusitas-spiritualitas tanpa harus menjadi negara agama. Model Indonesia menjadi ijtihad politik yang menjadi pilihan paling logis di tengah-tengah determinasi ideologi dunia yang sama-sama memiliki risiko apabila diterapkan pada masyarakat Nusantara yang heterogen.
Terakhir saya menyampaikan bahwa Indonesia adalah habitat yang paling komplit untuk perkembangan Islam. Keragaman sebagai keniscayaan yang dinyatakan dalam Islam dapat terwujud di Indonesia. Keragaman dalam entitas etnik, bahasa, dan agama yang umumnya di tempat lain menjadi ancaman konflik, di Indonesia justeru sebaliknya menjadi sumberdaya perdamaian. Hal ini sangat dipengaruhi oleh cara pandang moderat yang secara sosiologis sudah melekat pada diri bangsa. Islam dan keindonesiaan adalah dua entitas yang saling melengkapi dalam harmoni.