Kata “sanad” diambil dari bahasa Arab “sa·nad” yang berarti (1) sandaran, hubungan, atau rangkaian perkara yang dapat dipercayai; (2) rentetan rawi hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw. Penggunaan kata “sanad” pada kata kerja sering berkonotasi “ber·san·dar”; bersangga; bertumpu; atau bertopang.
Kata sanad dan bersandar memang secara langsung tidak ada kaitannya. Hanya saja, maknanya keduanya hampir sama. Sanad adalah sebuah rangkaian, sedangkan bersandar adalah sebuah hubungan “fisik” yang juga saling menguatkan.
Tulisan ini bukan untuk menjelaskan sanad dan rentetannya. Karena, penulis bukanlah ahli dalam bidang tersebut. Apalagi sampai menjelaskan ke akar-akarnya. Bukan di sini. Dan, bukan kapasitasnya. Nantinya, tulisan ini hanyalah sebuah renungan diri dalam memandang ketidaksempurnaan.
Konon, di dunia ini yang sempurna, hanya-lah rokok mild. Eh, sampoerna kalau itu. Maaf sedikit bid’ah dalam menulis.
Ketika ada seseorang yang meninggal di sebuah kampung. Tatkala beberapa masyarakat meyakini acara adat “tahlil”. Lagi-lagi saya tegaskan, saya tidak akan membahas perkara tahlilnya, tapi lebih pada “renungannya”. Ketika mendengar seseorang pemimpin membaca tahlil, ada sedikit “pikiran nakal” dalam benak saya, siapakah yang pertama kali merumuskan bacaannya? Terlepas dari sumber sejarah, yang ingin saya tanyakan lebih kepada kenapa bacaan-bacaan tersebut bisa berbeda-beda versinya dalam setiap daerah. Walaupun juga ditemukan sedikit standar bacaan, seperti bacaan tahlil itu. Sisanya, rata-rata bergantung pada siapa yang memimpin. Mau menambahi atau mengurangi, wewenangnya ada pada sosok yang memegang “mic” saat itu.
Kalau sekadar memimpin, mungkin mudah. Siapapun bisa. Dengan modal hape dan mbah gugelnya, orang bisa dengan mudah mendadak ustadz. Atau, beli buku yasin tahlil yang harganya tidak sampai lima ribu rupiah. Atau, jika ingin lebih hemat, datang saja ke komplek pemakaman yang ramai diziarahi, ambil deh satu, selesai.
Tahlil bukan sekadar dibaca. Bayangkan jika pembacanya bisa tahu semua asal muasal bacaannya. Seperti contoh mengapa membaca akhir surah al-Baqarah. Maka tak ayal, membaca tahlil seperti benar-benar tenggelam dalam samudera kekhusyukan.
Setelah mengetahui segala rentetan sebabnya, lalu mendapatkan “sanad”-nya. Dalam arti lebih sempit, darimanakah “ijazah” bacaannya? Berguru kepada siapa? Kapan dan dimana? Dan tentu, riwayat hidup guru-gurunya. Semua jika terekam dengan baik, maka saya yakin, bacaan tahlil tersebut bisa benar-benar “merasuk” pada jiwa pembacanya.
Lalu, bagaimana dengan bacaan Quran atau ilmu agama apapun? Saya rasa sama. Di tengah mudahnya akses ilmu, namun tanpa berguru, rasanya semua hanya akan mudah “membaca” saja. Bukan “merasakan” kata demi kata yang dibaca. Apalagi menikmatinya. Anda bisa mendapat dan membaca apapun dari gugel, tapi Anda tidak akan tahu, apa sebenarnya makna yang “tersirat” dari apa yamg ditemukan darinya?
Jadi, mungkin agama-pun perlahan akan begitu. Jika semakin banyak yang “hanya” mampu membaca, tanpa bisa tahu dan berguru tentang apapun, maka siap-siaplah akan tiba waktunya; manusia hanya akan saling “membunuh” hanya karena sebuah teks belaka.
Anda bisa belajar adab dari sebuah buku, tapi Anda tidak akan bisa “merasakan” indahnya, jika tidak melihat langsung “contoh”-nya. Makanya, Buya Ar Razi pernah sedikit mengeluarkan “sentilan” kecil, bahwa sasaran empuk khawarij adalah rumah-rumah tahfidz yang hanya melahirkan generasi yang “hanya” mampu menghafal kata, bukan pada “dzauq”-nya.
Contoh lain dzauq atau rasa yang tak mungkin diajarkan gugel adalah bagaimana santri belajar berjalan perlahan sambil jongkok ketika akan dan setelah menyetorkan hafalannya. Seperti pesan K.H. Jumali Ruslan yang berpesan, “Menghafal Quran disertai sebuah “riyadhoh” akan berbeda hasilnya dengan yang tidak”. Saya memahami riyadhah ini dengan banyak hal. Puasa, berkata baik, ataupun juga hati yang bersih kepada sesama. Seperti pribadi Allah yarham, K.H. Nurrahman. Bicaranya perlahan. Santun. Benar-benar Ahlullah yang diwakilkan di bumi. Hingga saya pun mengamati dalam mencuci baju saja, sosok Ahlullah itu berbeda sejak di pesantren. K.H. Alaika Nashrullah Blitar, KH. Nizar Riau. Keduanya kebetulan satu kompleks dengan saya. Saya faham betul bagaimana beliau-beliau berdua mensucikan pakaiannya. Atau, lebih dekat lagi dengan Gus Muyasin Mojokerto. Di balik tingkahnya yang “slengek’an”, dia adalah manusia paling berhati-hati dengan najis. Walaupun sesekali, beliau memakai pakaian yang tidak “good looking”. Jadi pada intinya, pada hal kecil saja, mereka amat-amat berhati-hati.
Pahami teks secara “kaffah”. Lalu belajarlah “dzauq”-nya. Lalu, semoga semua makhluk bisa berbahagia karenanya.
Kemayoran budidayan, 23.45 WIB
Akhi Fadli Ilmi