Ketika beberapa waktu lalu band metal underground “Furgatory” membawakan sebuah lagu sholawat di tangah konsernya, saat itu pula ada geritik di hati untuk menulis sedikit tentang dunia seni khususnya seni musik di Indonesia. Ada fenomena menarik yang patut kita cermati bersama. Bukan sekadar urusan seni musik dengan berbagai genrenya, tapi dampak positifnya dalam proses Santrinisasi di Indonesia.
Ketertarikan saya diperkuat juga dengan tampilnya “Voice of Baciprot” (VOB), grup musik metal asal Garut, Jawa Barat, yang tiga orang personelnya perempuan memakai jilbab atau hijab. Mereka bahkan sudah tur ke Asia dan Eropa dengan membawakan lagu Metallica, System’ of Down, dan lagu lagu bikinan mereka sendiri yang bernuansa pemberontakan dan sarat kritik sosial, seperti lagu School Revolution, Not Public Property, Stop War, God Allow Me Please Play Music, Tanah Rumah Tidak Dijual, dan lain lain.
Saya sendiri sebenarnya bisa dibilang awam di dunia musik. Saya tidak memiliki bakat bermain musik dan tidak intens juga mencermatj perkembangan dunia musik, tidak seperti Bens Leo misalnya yang sudah puluhan tahun mengamati perkembangan musik di tanah air. Saya sendiri hanyalah penikmat musik dengan beragam genrenya, mulai dangdut, pop, rock, slow rock, rock metal, ragge, nasyid, dan musik musik etnik yang lain. Karena itu, jika pengamatan saya kurang tepat silakan Anda kritik, dan beri masukan saya.
Mari kita masuk ke tema pokok, yakni “Santrinisasi seni musik”. Fenomena ini sejatinya sudah lama terjadi, bahkan sejak para-Walisangha dulu, tatkala seni wayang dipakai oleh Sunan Kalijaga untuk berdakwah dengan mengubah substansinya, tapi formatnya tetap. Dengan demikian, tidak terjadi adanya perubahan drastis dan ekstrem sehingga masyarakat Jawa khususnya bisa menerima dengan baik. Andaikan wayang diharamkan kala itu, mungkin saja seni wayang akan punah sekarang. Ini bentuk kearifan parawali dalam berdakwah yang patut diteladani. Dan, diakui atau tidak, grup Kyai Kanjeng yang dikomandoi oleh budayawan senior Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, juga Ki Ageng Ganjur yang dipimpin oleh Zastrow Al Ngatawi, keduanya adalah penerus dakwah para-Walisangha, khususnya melalui pendekatan seni dan budaya.
Di era 1970-an, Bang Haji Rhoma menampilkan sebuah revolusi dangdut dan beliau terang terangan menjadikanya sebagai sarana dakwah. Dangdut yang kala itu masih berujud musik Melayu diubah secara menakjubkan oleh beliau dengan sentuhan rock sebagaimana musik rock kala itu memang sedang digandrungi oleh parapecinta musik tanah air. Alhasil, Rhoma Irama sukses dan musik dangdut hingga saat ini sudah mendunia. Di Amerika sendiri, konon, sekarang, sedang terjadi demam dangdut. Ini tentu suatu hal yang patut disyukuri. Berkat Rhoma Irama, musik dangdut tidak lagi menjadi musik kampungan. Bahkan, pada saat perayaan HUT kemerdekaan RI yang ke-77, presiden meminta penyanyi dangdut cilik tampil membawakan lagu Ojo Dibandingke yang membuat Pak Jokowi dan semua yang hadir jadi riang gembira.