Lelaki asal Demak itu, Allah yarham, sudah menjadi abdi dalem sejak awal berdiri Pondok Pesantren Madrasatul Quran Tebuireng (MQ Tebuireng), Jombang. Tugasnya macam-macam, mulai dari abdi dalem, bendahara pondok, badal kiai, hingga tukang suwuk. Pekerjaan tersebut dijalaninya dengan ikhlas dan tanpa pamrih.
Tidak Ada yang Tidak Kenal
Semua santri mengenali Cak Dhowie (Baidhowie Alba), terutama di era awal pesantren berdiri, karena ia menjadi juru kunci keuangan. Setiap santri jauh selalu berharap-harap, nama mereka ada di papan nama untuk menerima weselpos.
Ya, waktu itu, aliran keuangan parasantri harus melalui weselpos dan Cak Dhowie, selain hari libur, setiap hari ke kantor pos untuk menarik uang, lalu diumumkan kepada yang berhak.
Cak Dhowie seperti tak kenal lelah mengabdi di pesantren. Pada awalnya, ia hanya seperti pesuruh belaka, karena belum mendapat posisi penting di depan panggung masjid. Tugasnya, pagi-pagi sekali setelah menunaikan ibadah sholat Subuh sudah bebersih di lingkungan Ndalem. Sementara santri-santri senior lainnya sudah duduk di atas sajadah masing-masing, menunggui setoran dari paramuqaddim (sebutan parasantri yang ngangsu hafalan). Setelah usai sholat Dhuha, Cak Dhowie berangkat ke pasar Cukir berbelanja dan ke kantor pos mengambil weselpos parasantri. Kemudian, ia ke kantor madrasah, duduk di kursi bendahara untuk mengecek administrasi dan kas pondok dan madrasah. Menjelang siang, Cak Dhowie sudah kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap menunaikan sholat Dhuhur berjamaah di masjid. Seterusnya, siang dan sore hari, Cak Dhowie kembali duduk di kursi bendaharanya. Cak Dhowie satu-satunya orang yang dipercaya memegang kendali keuangan. Ia hanya tamatan SMA, jadi ia otodidak dalam hal pembukuan. Kalaupun terdapat kekurangan, seperti sudah menjadi tanggung jawabnya untuk melaporkan dan mencari solusi dari berbagai pihak internal pesantren.
Sejak pesantren mulai membuka rekening bagi parasantri, tugas-tugas Cak Dhowie beralih fokus. Tugas utamanya adalah bendahara umum yang mengatur neraca keuangan pondok. Sementara parasantri bisa mengambil sendiri uang mereka melalui rekening masing-masing. Tatakelola keuangan parasantri mulai tertib dan sudah ada pembagian tugas.
Sepeninggal Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar, Cak Dhowie mulai menunggui setoran bi al nadhar. Tugasnya merawat Hadratussyekh sudah beralih fungsi. Ia mulai menjadi badal. Badal adalah sebutan bagi santri-santri senior yang diangkat menjadi guru asistensi, terutama di bidang bacaan Al Quran khas MQ Tebuireng.
Cak Dhowie pun mulai diberi tugas pengasuh untuk mengimami sholat di masjid pesantren. Posisi previllage yang senantiasa diidam-idamkan oleh parasantri. Sebab, santri yang sudah mendapat posisi imam itu berarti bacaan dan hafalan Al Qurannya sudah dianggap bagus alias mumtaz.
Cerita Tukang Suwuk
Cerita tukang suwuk ini sebetulnya hanya bumbu cerita saja. Cak Dhowie yang dikenal sibuk di kursi bendahara tidak pernah terdengar bisa nyuwuk.
Tapi, ketika ia mulai menepi sendiri di kamar belakang kantor pesantren bersama istri dan anaknya, Cak Dhowie sering menjadi jujugan alumni-alumni yang datang dari jauh.
Sebut saja Candra namanya, santri asal Sumatera, yang ingin mesantrenkan keponakannya di MQ Tebuireng. Candra menyelinap masuk dan berhasil sowan Cak Dhowie. Pertemuan yang sudah lama berselang itu seolah tumpahan rindu di antara keduanya. Dulu, semasa mesantren, Candra dititipkan kepada Cak Dhowie untuk diawasi secara khusus. Yang terbangun kemudian adalah hubungan emosional, karena Candra ternyata tidak cukup lama mesantren.
Meskipun demikian, Candra selalu meluangkan waktu untuk sowan ke Ndalem dalam waktu-waktu tertentu ketika ia sudah boyong.
Singkat cerita, Cak Dhowie ingin menurunkan “ilmu pamungkas”nya kepada Candra. Setelah diwejang ngalor ngidul dan tiba tengah malam, Candra meminta amalan kepada Cak Dhowie.
Cak Dhowie tercenung sebentar. “Baik,” katanya, “sekarang, mandi dulu! Mandi tobat! Dibersihkan dulu baru menerima amalan,” jawab Cak Dhowie, tanpa ekspresi.
Dengan niat membersihkan diri akhirnya Candra mengiyakan perintah Cak Dhowie.
“Tapi, Cak,” kata Candra, kemudian.
“Tapi, apa?” tanya Cak Dhowie.
“Yang nyiram Cak Dhowie.”
“Dasar, santri mbeling!” tukas Cak Dhowie, “sini!” Cak Dhowie pun mengguyurkan air ke sekujur tubuh Candra, kemudian merapal beberapa bacaan dan meniup ubun-ubunnya yang sudah kedinginan.
Cirebon, 23 Mei 2022.