Lelaki itu, meskipun dengan tertatih dan meraba-raba, mencari posisi nyaman untuk mendaras Al Quran. Ia sudah hafal seluk beluk pojokan komplek dan kamar mandi. Tempat sampiran handuk, piring dan sendok, botol minuman, serta lemari pakaian miliknya.
Keterbatasan fisik dengan penglihatan yang tak sempurna bukan halangan sebagian orang untuk menjadi penghafal Alquran.
Pada era 80-an akhir atau 90-an awal, di Pondok Pesantren Madrasatul Quran Tebuireng (MQ Tebuireng) terdapat beberapa santri yang mempunyai keterbatasan indera penglihatan. Mereka rata-rata bisa berhasil menyelesaikan hafalan Al Quran dalam waktu dan kualitas yang sama dengan santri normal pada umumnya.
Salah satu santri yang berhasil tersebut bernama M. Nasiruddin asal Blutoh Sumenep Madura
Kang Nasir adalah salah satunya. Ia menjalani proses menghafalnya dengan cara yang sangatlah sederhana. Ia cukup menyimak Al Quran yang dibacakan oleh seorang pembimbing khusus yang telah ditugaskan oleh pengurus Unit Tahfidh (bagian khusus yang mengurus santri-santri penghafal Al Quran di MQ Tebuireng). Dari bimbingan itu, Kang Nasir kemudian mulai menghafal sedikit demi sedikit. Adapun sang guru sedang berhalangan, Kang Nasir dapat menggunakan tape recorder (walkman) kecil yang ada di tangannya sebagai sarana bantu menghafal. Kemanapun Kang Nasir berpindah tempat, ia akan ditemani oleh suara yang didengarnya dari tape recorder itu. Pada jam-jam khusus, Kang Nasir bisa duduk di pojokan mushalla atau di muka komplek kamar sembari jemarinya bergerak, memencet-mencet tuts tape recorder yang disambungkan dengan headphone yang menempel di kedua telinganya.
Kang Nasir juga memiliki tape recorder yang ditaruhnya di lemari pakaian. Ia tak jarang membunyikan tape recorder sembari duduk di muka lemari.
Begitupun dengan cara murajaah (melancarkan dengan mengulang-ulang hafalan), ia mencocokkan aksentuasi Al Qurannya dengan suara murattal yang berasal dari tape recorder. Biasanya, suara yang sering diperdengarkan adalah Syekh Imam Kholil Al Hushoiri, seorang murattil yang bacaan tajwidnya menjadi pedoman santri-santri MQ Tebuireng sejak masa Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar hingga sekarang.
Kang Nasir mesantren di MQ Tebuireng dari tahun 1988 akhir hingga 1994. Berkat bimbingan guru utamanya di pesantren seperti KH Imam Hendriyadi, KH Abdulllah Kafi, KH Saiful Anwar, dan KH Imam Sofwan, ia berhasil menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan diwisuda hafidh edisi ke-8 tahun 1994.
Bagi Kang Nasir, kesuksesan menghafal Al Quran terletak pada kepandaian mengatur waktu antara menambah hafalan baru, memurajaah hafalan lama, dan menyiapkan setoral Al Quran kepada guru/badal.
Menghafal Al Quran bisa diibaratkan; jika masih dapat juz 1 sampai 10 seperti makan nasi putih yang rasanya masih enak dan mudah dikunyah, dapat juz 11 sampai 20 rasanya seperti makan nasi jagung, rada sedikit keras. Namun, jika sudah sampai pada juz 21 hingga 30 rasanya seperti makan “gaplek”, dimakan tidak enak, dibuang sayang, maka tidak ada pilihan selain dimakan lagi. Oleh karena itu, ia menekankan suka suka menghafal Al Quran agar pandai-pandai mengatur waktu.
Tidak hanya berhasil dalam menghafal Al Quran, Kang Nasir juga kerap mengikuti ajang MTQ dari tingkat kabupaten hingga nasional pada masanya.
Kini, Kang Nasir kembali ke kampung halamannya menjadi pengajar Al Quran, membimbing santri-santri penghafal Al Quran di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Kang Nasir menjadi bukti: keterbatasan fisik dan sarana bukan penghalang untuk menjadi pecinta dan ahli Al Quran.
Sidoarjo, 26 Mei 2022.