Jakarta-Net26.id Walau sudah tahu sering terjadi kasak-kusuk, bahkan memakan korban jiwa, dirinya masih tetap tenang. Jernih, memandang ke depan. Bersama Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, 1940-2009), Buya Syafi’i Ma’arif (Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1935-2022) menggelar pelatihan bagi kader-kader muda NU di Tompeyan, Yogyakarta. Kantor PWNU Yogyakarta.
Orde Baru dan Titik Tolak Sejarah Bangsa
Dalam banyak hal, hubungan antara NU dan Muhammadiyah diibaratkan seperti saudara tua dan saudara muda. Meskipun tidak jarang berselisih paham.
![](https://net26.id/wp-content/uploads/2022/05/IMG_20220527_175226.jpg)
Namun, perselisihan paham itu telah mendewasakan. Banyak kasus-kasus parsial (furu’iyah) bisa diselesaikan. Yang semula berbeda pendapat tentang jumlah rekaat sholat tarawih misalnya, bisa didamaikan. Begitu pula pada perbedaan penentuan awal Ramadhan atau 1 Syawal. Perbedaan itu pada dasarnya bukan pada hal prinsip tentang keberagamaan. Pada tataran kebangsaan, NU dan Muhammadiyah sudah sama-sama menerima Pancasila sebagai dasar negara.
Pejuang Kemanusiaan
Visi kemajuan NU dan Muhammadiyah menemui puncak manakala Buya Syafi’i dalam banyak hal pula menjalin hubungan baik dengan Gus Dur. Tidak saja pada tataran pemikiran dan konsep, melainkan dalam kerjasama antarorganisasi. Terutama, ketika terjadi suksesi kepemimpinan Orde Baru. Negara menjadi persoalan NU dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi terbesar di Indonesia dengan tanpa maksud mengecilkan peran dan kontribusi organisasi dan elemen bangsa lainnya.
Kuliah-kuliah Buya Syafi’i lebih banyak berbicara dari sudut sejarah. Dan, sejarah adalah kemanusiaan itu sendiri. Dari aspek sejarah, kritik diperlukan untuk merekonstruksi kembali nilai-nilai kemanusiaan. Dari kemanusiaan itu, suku-bangsa Indonesia layak berbicara tentang keadilan, kemakmuran, ketahanan, dan harga diri bangsa itu sendiri.
Dalam banyak hal, sekali lagi, Buya Syafi’i seperti sekeping dua sisi matauang dengan Gus Dur. Karakter kuat yang dimiliki keduanya sangat kuat dalam hal harga diri. Buya Syafi’i sebagai orang Minang dan Gus Dur sebagai orang Jawa Timur. Sama-sama blakasuta, blak-blakan, dan apa adanya. Karakter yang sering berbalik dengan kebanyakan. Sering bersemu dan ewuh pakewuh.
Keduanya tidak jarang terlibat dalam polemik intelektual melalui tulisan-tulisan bernas di media massa. Saling kritik dan saling memahami karakter masing-masing. Ketika Gus Dur menjadi presiden, Buya pun tidak sungkan-sungkan melancarkan kritik.
Keduanya memang tidak sekadar berkawan, namun melebihi saudara tua dan saudara muda. Ada kerinduan terselip di hati Buya ketika polemik bangsa yang biasa diselesaikan oleh Gus Dur.
Kini, keduanya sudah dipanggil ke alam baka oleh yang Maha Kuasa. Seusai menyelesaikan tugas kemanusiaan masing-masing. Buya Syafi’i bukan intelektual kampus yang hanya bersembunyi di balik meja guru besar, tapi ia seorang anak kampung yang mandiri. Di usia senjanya, ia masih melayani dirinya sendiri untuk pergi ke mesjid tepat waktu, menghubungi kolega-kolega bahkan orang-orang yang sering dipandang tidak penting.