Kami masih berjibaku pada hafalan Al-Quran, sibuk mendaras dan mempersiapkan ujian kelulusan sekolah, ketika mereka telah membangun mimpi yang besar untuk kuliah di Al Azhar.
Setelah dinyatakan lulus sekolah, kami seperti siswa-siswa pada umumnya, bingung menentukan masa depan. Jika melanjutkan kuliah, kuliah di mana? Jika bekerja, bekerja apa? Sementara angan-angan untuk menikah masih terasa jauh karena belum mempunyai bekal untuk menyongsong hidup baru. Atau, menghadapi pilihan terakhir untuk tetap tinggal dan mengabdi di pesantren saja. Padahal, mereka telah bersiap-siap diri untuk mewujudkan mimpi, mengikuti tahapan-tahapan bisa lolos seleksi dan menjadi mahasiswa di Mesir. Negeri yang senantiasa menjadi idaman bagi pelajar-pelajar dari pesantren seperti kami. Berharap di sana dapat menemukan guru-guru dan “Grand Syekh” yang mumpuni.
Lulusan Madrasah Aliyah MQ Tebuireng pada tahun 2004 berjumlah enam puluh delapan orang siswa/santri. Empat di antara kami akhirnya memang berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di kampus Islam tertua di dunia itu. Kampus impian seluruh anak negeri dari berbagai penjuru dunia untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman.
Teman kami yang pertama adalah Mubtaghi Wajhillah. Dia santri asal Lamongan. Ketika di pesantren, ia mengaku: tidak mudah untuk menjalankan dua program secara bersamaan, menghafal dan sekolah di madrasah. Akhirnya, sekolahnya dijalani sebagai rutinitas biasa saja dan bertekad kelak ketika di bangku kuliah akan meraih segala ilmu yang belum didapat pada jenjang Aliyah. Berkat keputusannya, pada acara pengukuhannya sebagai “hamilil Qur’an” di wisuda edisi 2005, Mubtaghi berhasil meraih gelar wisudawan hafidh terbaik bersama teman satu angkatan yang sekarang telah menjadi dosen di Universitas Hasyim Asy’ari, Shohibussurur.
Mimpi Mubtaghi untuk kuliah di Al-Azhar pun terwujud, berkat kegigihannya dalam mempersiapkan segala persyaratan guna diterima di Al Azhar. Empat tahun, ia menimba ilmu di bumi para nabi itu, mengambil jurusan Ilmu Syariah. Dan, sesuai janjinya, segala macam ilmu yang belum dikuasainya di bangku Aliyah telah berhasil diraih dan dikuasainya. Kimi, sekembalinya dari Mesir, Mubtaghi tinggal di Jakarta dan bekerja di lembaga hukum milik mantan Menkopolhukan, Jenderal Wiranto.
Nama yang kedua adalah Ahmad Hawasyi Syamsuddin. Ia lahir di Nusa Tenggara Barat (NTB). Tipikalnya pendiam. Tidak banyak yang tahu kalau dirinya bercita-cita akan ke Mesir. Tiba-tiba saja pada bulan Oktober 2004, sudah ada kabar: dia sudah berada di Mesir, kuliah di Al-Azhar mengambil jurusan Ilmu Ushuluddin. Lebih dari empat tahun, belum juga ada kabar dirinya pulang dan ternyata ia melanjutkan ke jenjang Strata Dua di Institut Studi Islam Zamalik Mesir, mengambil jurusan Ilmu Syari’ah hingga selesai pada 2014.
Kini, bersama saudara-saudaranya yang lain, Ahmad Hawasyi mengelola dan mengabdi di pesantren keluarganya, Pondok Pesantren At-Tadris, sembari menyiapkan proses pendirian pesantren khusus Al-Qur’an yang diberinya nama “Markaz Al-Qur’an” (MQ). Ahmad Hawasyi juga mengisi kesibukannya dengan kegiatan-kegiatan di Majelis Ta’lim di sekitaran NTB.
Nama selanjutnya adalah Khairil Anwar, santri kelahiran Bone, Sulawesi Selatan. Ia termasuk santri yang sabar dan tenang, dalam belajar dan menghafal punya prinsip ‘tidak grusa grusu’. Artinya tidak akan menambah hafalan baru manakala hafalan lama belum lancar, tidak akan pindah bab manakala sebuah kitab belum dikuasai, meskipun materi di kelas sudah jauh capaiannya.
Khairil Anwar kuliah di Al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, mengambil jurusan Akidah dan Filsafat. Siswa Madrasah Tsanawiyah MQ Tebuireng yang pernah menjadi ketua OSIS ini memang dikenal haus akan ilmu pengetahuan. Setamat dari Al-Azhar, Khairil Anwar belum juga mau pulang untuk melanjutkan pengembaraannya di belahan dunia lainnya. Pilihannya jatuh di negeri jiran, Malaysia, mengambil kuliah Pascasarjana di “Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization” (CASIS) Universiti Teknologi Malaysia (UTM) di Kuala Lumpur. Setamat dari program tersebut, Khairil pun melanjutkan ke jenjang Doktoralnya hingga hari ini di kampus yang sama bersama istri dan kedua anaknya.
Yang terakhir dari ketiganya adalah Faiz Husaini. Mesir seakan-akan negara tempat asalnya, dari tahun 2004 hingga hari ini, dia masih menetap di sana bersama istri dan ketiga anaknya untuk menyelesaikan studi doktoral pada bidang “takhassus” tafsir Al-Qur’an, bidang yang sama digelutinya pada jenjang Strata Satu dan Dua.
Putra dari salah satu Ulama Banjarnegara ini, KHM Ngishom, Pengasuh Pondok Pesantren Miftahussolihin, terlihat menonjol kecerdasannya semenjak di MQ Tebuireng dulu. Ia mulai mesantren di Madrasatul Quran selepas lulus Madrasah Tsanawiyah dengan membawa hafalan 30 juz Al-Qur’an. Di MQ Tebuireng, Faiz hanya tabarukan saja. Dan, selepas wisuda hafidh pada 2002, dia mengambil program Qiraah Sab’ah.
Faiz sering pula tampil pada Musabaqah Hifdzil Quran (MHQ) di berbagai tingkatan. Suaranya merdu mendayu-dayu ketika menjadi imam di masjid pesantren dulu. Variasi lagu yang sering dilantunkannya adalah gaya Syekh Sa’ad Al-Ghomidi.
Segala yang telah dicapai oleh rekan-rekan kami di atas dengan keberhasilan mereka untuk menimba ilmu di bumi para nabi adalah kebahagian dan kebanggaan kami juga, setidaknya kami memiliki teman-teman hebat. Orang-orang hebat yang akan mewarnai negeri ini di masa-masa yang akan datang.
Sidoarjo.