Beberapa tahun silam dan beberapa muballigh telah menyampaikan pesan: Walisongo adalah fiktif. Rekayasa sejarah orang-orang dahulu melalui legenda. Hal ini berangkat dari ketidaksukaan oleh sebagian kalangan yang telah menjadi antek Belanda atas tradisi umat Islam yang suka berziarah kubur, terutama Walisongo, di Indonesia.
Ketidaksukaan tersebut memuncak dan semakin menjadi-jadi setelah kemunculan tema Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 pada 2015 yang mengusung “Islam Nusantara”. Anggapan kalangan tersebut: Islam Nusantara adalah sesat dan kafir. Hal demikian wajar karena tiga hal. Pertama, substansial lebih utama daripada sejarah. Ulama atau kalangan muballigh yang sering muncul di media kurang mengerti tentang dialektika sejarah sehingga yang menjadi wacana adalah pengulangan-pengulangan seperti bid’ah, takhayul, khurafat. Padahal wacana demikian di kalangan akademisi sudah selesai. Sebab, wacana demikian merupakan bagian dari propaganda Orientalisme untuk merusak sejarah umat Islam, baik di Indonesia sendiri maupun internasional.
Kedua, pikiran yang masih “taken for granted”. Akibat dari pengulangan wacana-wacana tersebut, maka umat lebih gampang memberikan justifikasi dan penilaian-penilaian terhadap kelompok-kelompok lain yang berbeda. Sejarah Nabi Muhammad Saw dipukul rata dengan sejarah kekinian, sehingga kontekstualisasi sejarah kata (filologi) misalnya tidak pernah mengenai sasaran. Konteks kata “kafir” bisa ditembakkan kepada siapapun yang berbeda pandangan. Sehingga terjadi klaim kebenaran bagi mereka. Kebenaran pun hanya milik mereka, sementara kelompok lain salah.
Ketiga, pos kolonialisme dan kurangnya kesadaran sejarah. Bagaimanapun produk-produk ilmiah ala kampus masih menganut pola lama ini. Pola kolonialisme yang masih menggunakan pandangan-pandangan konservatif tentang sejarah. Syarat dan prasyarat atas formalisme sejarah tidak memberikan ruang kosong penafsiran dengan pendekatan sejarah dan tradisi. Sebuah penelitian harus memenuhi syarat dan prasyarat historiografi yang bersandar pada artefak-artefak, dokumen-dokumen, maupun pendapat-pendapat otoritatif dari kalangan mereka saja, kolonialis. Sementara pandangan-pandangan yang bersandar pada memori masyarakat (social imagination) dianggap tidak ilmiah.
Dengan kata lain, Islam Nusantara yang menjadi paradigma berpikir kalangan NU pada dasarnya adalah untuk membangkitkan kesadaran sejarah umat Islam Indonesia. Hal ini setidaknya berkaitan pada hal-hal berikut: pertama, doktrin-doktrin agama, baik melalui al-Qur’an maupun Sunnah, memerlukan kontekstualisasi sejarah sehingga tidak menjadi konservatif dan menua di dalam museum.
Kedua, setiap suku bangsa memiliki kronologi sejarah masing-masing. Suku bangsa Arab memiliki sejarah sendiri. Suku bangsa di Nusantara memiliki sejarah sendiri. Begitu pula suku bangsa Eropa memiliki sejarah sendiri. Kritik bisa diterima selama masih relevan. Kalaupun tidak relevan masih dibutuhkan teori-teori baru yang dapat mengakomodasi sejarah milik sendiri, bukan atas bentukan orang lain (kolonialisme).