Tulisan ini sebagai tanggapan dari wacana berjamaah sholat secara virtual dalam konteks pandemi. Maka melalui tulisan ini, saya coba menjelaskan hukumnya secara singkat dengan merujuk kepada beberapa kitab fiqh Syafi’i. Di antaranya Riyadh al-Badi’ah karya Imam Nawawi Al-Bantani Al-Jawi dan Hasyiyataa Qalyubiy wa Umayrah ‘ala Syarh al-Mahalli ala Minhaj ath-Thalibin karya Imam Syihabuddin Abu Abbas (Al-Qalyubi) dan Syihabuddin Ahmad Al-Burullusi (Umayrah). Jika terdapat kesalahan, mohon maaf dan sila dikoreksi.
Hukum sholat berjamaah adalah fardu kifayah bagi penduduk suatu negara. Sementara itu, secara teknis, wajib melaksanakan sholat berjamaah di tempat yang diketahui oleh orang banyak dan tempat tersebut dapat dimasuki dan diakses oleh semua orang.
Bagi sesiapa yang melakukan sholat berjamaah, sunnah hukumnya meski hanya dilakukan bersama keluarga di rumah. Sementara itu wajib hukumnya bagi yang bermakmum untuk berniat sholat berjamaah dan harus mengetahui (melihat atau merasakan) apa saja gerakan sholat yang dilakukan oleh imam, dan wajib mengikutinya.
Adapun syarat dari berjamaah adalah harus berkumpul (antara makmum dan imam) dalam satu tempat. Kemudian antara makmum dan imam tidak boleh saling mendahului dalam gerakan sholat, begitu pula tidak saling mengakhirkan dalam gerakan sholat.
Lalu, dapatkah seorang perempuan menjadi imam? Seorang perempuan tidak sah (tidak boleh) menjadi imam terkecuali hanya untuk makmum perempuan. Selain itu, seorang kafir tidak boleh menjadi imam. Kemudian seseorang yang belum tamyiz (bisa membedakan yang baik dan yang buruk) tidak boleh menjadi imam. Begitu pula dengan seseorang yang mengubah satu huruf dalam surat Al-Fatihah dengan huruf yang lain, maka ia tidak boleh menjadi imam.
Dalam berjamaah, seseorang yang pintar dalam ilmu fiqh, semisal mengetahui hukum sholat maupun berjamaah dan memahami ilmu agama secara luas, maka lebih diutamakan untuk menjadi imam. Selain itu, imam haruslah seorang yang terpilih. Baik dari bacaan Al-Quran maupun keturunan dan sifatnya, seperti akhlak dan kezuhudannya.
Jadi, berjamaah secara secara virtual tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Ia tidak dilaksanakan di tempat yang zahir. Selain itu, makmum tidak pula dapat mengikuti, melihat, dan merasakan persis gerakan imam secara yakin, karena hal itu hanya virtual. Begitu pula antara makmum dan imam tidak berkumpul dalam satu tempat dan justru berlainan tempat. Hadana Allah wa iyyakum ajma’in.