Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, atau yang dikenal dengan Imam Al-Bukhari (W. 256 H) memiliki perhatian khusus kepada buku-buku yang beliau tulis, terlebih kepada Shahih Al-Bukhari yang menjadi buku terkredibel setelah Al-Quran.
Kitab yang ditulis selama 16 tahun itu merupakan hasil dari riset beliau atas 600.000 hadits yang beliau kumpulkan selama beliau rihlah ke timur hingga barat, mengunjungi tempat-tempat yang didiami oleh para ahli hadits untuk beliau ambil haditsnya dan kemudian diriwayatkan, dan pada akhirnya beliau hanya memilih 7000 riwayat hadits lebih yang beliau anggap Shahih. Ditambah Setiap hadits yang ditulis di Shahih beliau sudah “ditirakati” dengan shalat sunnah 2 rakaat dan telah diyakini keshahihan haditsnya.
Tidak berhenti disitu, setelah beliau berijtihad untuk menentukan keshahihan hadits, Imam Al-Bukhari juga mempresentasikan kitab beliau kepada ulama hadits ternama di zaman beliau, diantaranya: Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), Imam Yahya bin Ma’in (W. 233 H), dan Imam ‘Ali Al-Madini (W. 234 H), ketiga ulama tersebut menilai kitab beliau sangat bagus dan sepakat dengan keshahihan haditsnya kecuali 4 hadits. Namun, menurut Imam Al-Uqaili yang dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Muqaddimah Fathul Bari, 4 hadits tersebut juga termasuk hadits Shahih.
Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika para ulama menyepakati bahwa Shahih Al-Bukhari merupakan kitab yang paling kredibel setelah kitab suci Al-Quran. Sehingga kita akan menemukan fakta bahwa para santri, bahkan masyarakat islam secara umum itu berbondong-bondong untuk mendengarkan hadits tersebut dari penulisnya, atau orang yang pernah mendengar dari penulisnya, generasi demi generasi melanjutkan estafet hadits ini baik mendengarkan, mengkaji, atau menjadikannya sebuah dalil dan argumentasi.
Murid Imam Al-Bukhari; Imam Muhammad bin Yusuf Al-Firabri -beliau adalah orang yang paling masyhur dalam periwayatan Shahih Al-Bukhari- berkata: “ketika Imam Al-Bukhari masih hidup, lebih dari 90.000 orang yang mendengarkan Shahih Al-Bukhari langsung dari Imam Al-Bukhari”.
Diketahui, salah satu rutinitas Imam Al-Bukhari adalah mengadakan beberapa majlis besar untuk mendiktekan hadits-hadits Shahih yang beliau himpun, bahkan ketika beliau berada di Baghdad, saat majlis berlangsung ada 3 orang penyambung suara, dan di majlis dihadiri oleh ribuan orang.
Imam Nawawi (W. 676 H) dalam Syarahnya atas Shahih Al-Bukhari berkata: “Shahih Al-Bukhari merupakan kitab pertama yang menghimpun hadits Shahih. Ulama sepakat bahwa kitab yang paling kredibel yang pernah ditulis adalah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan mayoritas ulama sepakat bahwa Shahih Al-Bukhari yang paling Shahih antara keduanya.
Dengan ini dapat difahami bahwa Shahih Al-Bukhari sudah terwariskan secara mutawatir dari setiap generasi ke generasi di berbagai belahan dunia, dan pembuktian keaslian naskah Imam Al-Bukhari terdata pada naskah milik muridnya yang paling terkenal yaitu Imam Al-Firabri.
Dari ribuan orang yang mendengar Shahih Al-Bukhari langsung dari sang Imam, namun hanya beberapa yang terkenal dalam meriwayatkan kitab Shahih Al-Bukhari, antara lain:
1.) Abu Ishaq Ibrahim bin Ma’qil An-Nasafi. Beliau mendengar hadits Shahih Al-Bukhari secara keseluruhan kecuali 300 hadits terakhir, namun Imam Al-Bukhari mengijazahkan hadits yang tidak terdengar, sehingga beliau meriwayatkan Shahih Al-Bukhari secara sempurna.
2.) Al-Husein bin Ismail Al-Mahamili. Beliau adalah ulama Baghdad yang paling terakhir wafat yang langsung meriwayatkan Shahih Al-Bukhari langsung dari Imam Al-Bukhari. Namun periwayatan beliau tidak semua hadits, sebab beliau hanya mendengar sebagian dari Shahih Al-Bukhari saat Imam Al-Bukhari datang ke Baghdad terakhir kalinya.
3.) Abu Thalhah Mansur bin Muhammad bin ‘Ali Al-Bazdawi. Beliau adalah orang yang paling terakhir wafat yang meriwayatkan langsung dari Imam Al-Bukhari. Ibnu Nuqthah menyebutkan bahwa ada sebagian ulama yang melemahkan periwayatan Imam Mansur ini sebab beliau mendengar Shahih Al-Bukhari ketika beliau masih kecil. Meskipun begitu, para ulama dan santri di kota beliau tetap mendengarkan Shahih Al-Bukhari dari jalur riwayat beliau.
4.) Muhammad bin Yusuf bin Mathar Al-Firabri. Beliau adalah sosok yang paling terkenal dalam periwayatan Shahih Al-Bukhari. Sebab terkenal beliau karena beberapa alasan; pertama, karena beliau mendengar Shahih Al-Bukhari 3 kali langsung dari Imam Al-Bukhari, pada tahun 248 H, tahun 254 H, dan tahun 255 H; satu tahun sebelum wafatnya Imam Al-Bukhari. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “periwayatan Shahih Al-Bukhari melalui jalur Al-Firabri merupakan riwayat yang paling sempurna”.
Alasan kedua periwayatan Shahih Al-Bukhari melalui jalur Al-Firabri menjadi terkenal sebab beliau memegang naskah Shahih Al-Bukhari milik empunya. Sehingga beliau menjadi leluasa dalam mengecek kesesuaian teks antara naskah beliau dengan naskah Imam Al-Bukhari.
Adapun ulama yang meriwayatkan Shahih Al-Bukhari melalui jalur Al-Firabri, dan mendapatkan akses untuk menyalin naskah langsung dari naskah Imam al-Bukhari ada 4 ulama: Ibrahim bin Ahmad bin Ibrahim Al-Mustamli, Abdullah bin Ahmad bin Hammuyah Al-Hammuyi As-Sarkhasi, Muhammad bin Makki Al-Marwazi Al-Kusymaihani, dan Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Al-Marwazi.
Di titik ini naskah Shahih Al-Bukhari mulai terjadi perbedaan. Sebabnya sebagaimana yang diriwayatkan dari Al-Baji, bahwa ketika Ibrahim Al-Mustamli sedang menyalin Shahih Al-Bukhari dari naskah milik Imam Al-Bukhari yang ada pada Al-Firabri, beliau menemukan banyak bagian yang belum diberikan judul bab, akhirnya beliau lah yang menambahkan judul bab.
Kemungkinan besar, 3 ulama lain yang meriwayatkan dari Al-Firabri juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Ibrahim Al-Mustamli. Oleh karena itu naskah menjadi berbeda satu sama lain, meskipun mereka sama-sama meriwayatkan Shahih Al-Bukhari dari Al-Firabri dan sama-sama menyalin naskah dari naskah Imam Al-Bukhari.
Yang menguatkan bahwa 4 ulama itu menambahkan beberapa judul yang belum tertera adalah pada setiap naskah mereka adanya ketidaksamaan urutan bab, ada yang didahulukan, ada juga yang mengakhirkan. Bahkan terkadang antara bab dengan bab yang lainnya tidak tertera satu hadits pun.
Masa setelahnya, datang Al-Imam Abu Dzar Abd bin Ahmad bin Muhammad Al-Harawi yang meriwayatkan Shahih Al-Bukhari dari Ibrahim Al-Mustamli, Abdullah Al-Hammuyi, dan Muhammad Al-Kusymaihani, yang mana ketiganya meriwayatkan dari Al-Firabri.
Periwayatan Al-Imam Abu Dzar Al-Harawi ini tersebar ke negri timur dan barat, karena beliau memberikan perhatian lebih kepada naskah yang beliau miliki dengan memberikan tanda pada setiap perbedaan dan persamaan yang beliau temukan dari ketiga gurunya.
Oleh karena itu Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani memandang bahwa naskah milik Imam Abu Dzar Al-Harawi ini merupakan riwayat yang paling paten sehingga beliau menjadikan naskah Imam Abu Dzar sebagai salah satu rujukan utama beliau ketika menulis Syarah atas Shahih Al-Bukhari.
Adapun ulama mutaakhir yang memberikan perhatian lebih kepada naskah Shahih Al-Bukhari adalah Al-Imam Abu Al-Husain ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Al-Yunini Al-Hambali (W. 701 H). Naskah beliau dikenal dengan An-Nuskhah Al-Yuniniyah. Pada naskah tersebut tertulis bahwa naskah ini telah diriwayatkan secara sama’i dan kemudian dibandingkan dengan 4 naskah milik ulama besar, yaitu: naskah milik Abu Muhammad Abdullah bin Ibrahim Al-Ashili, naskah Abu Dzar Al-Harawi, Abu Al-Qasim Ibnu ‘Asakir, dan Abu Sa’id Abdul Karim As-Sam’ani.
Pada pinggiran naskah Al-Yunini juga disertakan penjelasan terhadap perbedaan-perbedaan naskah pada periwayatan murid-muridnya Al-Firabri, dan murid-murid hingga keatas. Baik perbedaan pada penamaan bab, atau hadits atau kalimat.
Naskah Al-Yunini ini juga digunakan sebagai salah satu rujukan Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika menulis Fath Al-Bari, Al-Imam Badruddin Al-‘Aini ketika ‘Udah Al-Qari, dan Al-Iman Al-Qasthalani ketika menulis Irsyad As-Sari.
Diantara ketiga Imam itu, Imam Al-Qasthalani yang paling banyak meneliti secara cermat terhadap lafadz hadits dan perbedaan periwayatan. Selain menggunakan naskah Al-Yunini, beliau juga menggunakan naskah Al-Muhaddits Muhammad bin Ahmad Al-Ghazwali yang kemudian beliau bandingkan dengan naskah Al-Yunini. Dengan ini, naskah milik Imam Al-Qasthalani merupakan naskah yang paling terpercaya yang sudah dicetak dan sampai kepada kita.
Selain naskah Al-Yunini juga ada naskah yang dikenal dengan naskah Al-Sulthaniyyah yang sangat memperinci perbedaan riwayat-riwayat yang ada pada Shahih Al-Bukhari. Setelah naskah Imam Al-Qasthalani, naskah Al-Sulthaniyyah berada di tingkat lebih bawah dalam kepercayaan.
~~
Tulisan ini disarikan dari Muqaddimah Fathul Bari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan kitab Irsyad Al-Qari ila An-Nash Ar-Rajih li hadits Waiha ‘Ammar karya Syekh Ahmad Ma’bid Abdul Karim.
~~
Sabtu, 24 Juli 2021.
Madinah Buuts Al-Islamiyah, Kairo.