Dari aspek budaya, NU adalah representasi dari Wali Sangha. Komunitas persaudaraan para kekasih Allah Ta’ala. Dari sini, dapat dimaknai bila Wali Sangha tidak saja menjadi hak bersama masyarakat muslim-Jawa, melainkan masyarakat muslim yang tersebar di seluruh Indonesia, Nusantara, atau bahkan dunia. Mereka memiliki ikatan ruhani yang bermuara kepada Rasulullah saw, meskipun berbeda aliran faham, tarekat, maupun mazhab. Komunitas-komunitas demikian memiliki keragaman.
Dari pengertian budaya ini, NU merupakan represantasi dari Wali Sangha. Dalam sistem sosial, seorang ulama, kiai, atau santri akan membuka sebuah wahana budaya dalam bentuk sebuah komunitas. Biasanya, diawali dari membuka mesjid atau mushalla dan majelis kecil pengajaran baca tulis Al-Quran di suatu kampung yang asing. Dari majelis yang kecil itu kemudian tumbuh berkembang menjadi jamaah pengajian, suluk-suluk tarekat, dan lembaga pendidikan. Sebagian kelompok tarekat mengajarkan tarekat melalui bentuk-bentuk kerja nyata seperti berdagang, bertani, atau pencak silat dalam pengertian seni-budaya. Bahkan, membentuk sebuah imarah, pemerintahan. Ulama, kiai, atau santri tersebut tersebar di seluruh Nusantara/Indonesia. Sebagaimana Sunan Gunungjati misalnya memiliki ikatan ruhani dengan komunitas muslim di Banten dan Ternate. Sunan Ampel memiliki ikatan ruhani dengan sejarah Palembang. Syekh Muhyi Pamijahan memiliki ikatan ruhani dengan Syekh Abdurrauf Singkil Aceh. Syekh Rahmatullah memiliki ikatan ruhani dengan masyarakat komunitas muslim Nusa Tenggara. Begitu pula, masyarakat komunitas muslim Nusa Tenggara memiliki ikatan ruhani dengan masyarakat komunitas muslim Sulawesi Selatan. Dan, seterusnya. Jalin menjalin. Dengan kata lain, Wali Sangha itu meliputi jalinan kasih dan ikatan ruhani/persaudaraan. Maka, tidak heran, jika ikatan ruhani dan jalinan kasih tersebut dirajut oleh organisasi sosial-keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai representasi sejak sebelum berdiri. Jalinan sosial demikian sudah terjalin sejak lama secara kultural sebelum akhirnya menjadi sebuah organisasi yang diikat oleh AD/ART plus Qanun Asasi yang tak terpisahkan.
Di dalam Qanun Asasi NU yang ditulis sendiri oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari disebutkan representasi masyarakat muslim Nusantara/Indonesia yang telah lama menganut pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Paham tradisi dan kebersamaan komunitas persaudaraan. Sedapat mungkin perilaku kehidupan masyarakat muslim Nusantara/Indonesia mengikuti jejak tradisi kenabian (profetik), jika tidak, masih ada celah dan jalan yang dapat ditempuh melalui jalur tradisi fiqh. Realitas hukum masyarakat yang tidak bertentangan dengan Syara, namun konsisten pada kemaslahatan, keadilan, dan nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh antargolongan, antaraliran, antartarekat, maupun antarpemahaman fiqh itu sendiri. Dengan demikian, Qanun Asasi NU merupakan cerminan yang merepresentasikan keberislaman masyarakat muslim di Nusantara/Indonesia.