Tidak ada yang meragukan kealiman dan kemapanan Gus Baha (K.H. Bahauddin Nursalim) dalam menguasai khazanah tafsir, baik di dalam negeri maupun sebagian mancanegara. Dikatakan sebagian mancanegara, meminjam istilah Gus Anam (K.H. Zuhrul Anam Hisyam) Leler, Banyumas, “Gus Baha belum pernah mesantren di luar negeri.” Entah, ke Timur Tengah atau ke Barat sekalipun.
Dalam aktivitas viralnya di media-media sosial, terutama YouTube, tradisi santri yang bersifat oral (lisan) masih menjadi ciri khas. Masyarakat Indonesia, terutama kalangan pesantren, masih mengidolakan gaya-gaya dengan model penyampaian lisan (cermah) tersebut. Meskipun dalam penampilannya, Gus Baha sedikit membuat sebuah kemasan ngaji ala pesantren, bandongan, secara massal sehingga dapat diterima oleh pemirsa di seluruh Indonesia, bahkan dunia, secara transformatif (meminjam istilah Bapak Aksin Wijaya). Dengan kata lain, Gus Baha coba mentransmisikan khazanah-khazanah tafsir masa lalu (klasik) ke dalam era kekinian. Dengan gayanya yang khas, seolah produk-produk transmisi tersebut benar-benar baru dan belum dimengerti oleh umat Islam Indonesia.
Metode yang sedang digunakan Gus Baha sebetulnya tidak juga buruk dan tidak juga salah. Terlepas dari konten dan materi yang disampaikan. Dokumentasi-dokumentasi tradisi lisan memang masih jarang digarap. Padahal, setiap hari, kiai-kiai di pondok-pondok pesantren secara istiqamah terus melakukan kajian-kajian terhadap kitab-kitab tradisi. Tentu, setiap pembacaan menghasilkan produksi yang berkelanjutan dan berkembang. Hanya karena dokumentasi, baik visual maupun tertulis masih kurang, maka apa yang dikatakan oleh kalangan bijak bestari (meminjam istilah Abuya Husein Muhammad) hanya akan hilang begitu saja alias tidak “verbatim”. Orang Latin bilang: “Verba Volant, Skripta Manent”. Setiap yang terucap akan hilang, setiap yang tertulis akan abadi. Ungkapan peribahasa tersebut merupakan peribahasa lama yang dikutip dalam pidato Kaisar Titus di hadapan Senat Romawi. Tradisi Romawi adalah tradisi tulis (qanun). Suku-bangsa Romawi dikenal telah menulis setiap putusan-putusan hukum mereka dengan baik hingga dikenal dengan sebutan yurisprudensi.
Ketakutan yang biasa dihinggapi oleh para pengkritik, baik sosial maupun intelektual, adalah kritik balik. Melakukan kritik dengan tidak mempersiapkan sejumlah argumentasi yang baik hanya akan menerima serangan-serangan tak terduga. Maka, alangkah baiknya bila kritik-kritik demikian dapat didokumentasi dengan baik. Syukur-syukur menjadi bahan-bahan pemikiran eksploratif dengan tingkat reflektif secara lebih luas, ilmu dan pengetahuan. Tidak sekadar tafsir.