Seorang santri sarjana berkata, “Bagaimana bisa mengajarkan tasawuf falsafi kepada orang awam? Mereka bisa sesat.”
Kira-kira sang teman ini sangat khawatir, kalau sudah diajarkan tasawuf falsafi sejak dini, orang-orang awam tersebut akan seperti murid-murid Syekh Siti Jenar yang di dalam film-film itu atau komik-komik bergambar. Mereka tidak sholat. Karena, stigma negatif itu sudah terbangun dari visualisasi sang teman. Bukankah manusia adalah makhluk persepsi? Mereka membangun banyak berhala termasuk di dalam persepsi-persepsi mereka sendiri.
Tentu, kekhawatiran ini tidak salah. Karena, Islam itu mengajarkan contoh yang baik (uswah), tapi apabila tidak didahului dengan keyakinan yang kuat, maka hal itu bisa terlambat. Terlambat membangun keyakinan. Pun, keyakinan yang di dapat belakangan akan menjadi radikal dan dangkal di dalam memahami dan mengamalkan Islam.
Tujuan tasawuf falsafi diantaranya adalah membangun keyakinan sejak dini, berupa keyakinan ideologis. Ideologi dalam makna nirpeyoratif (tidak menyimpang) adalah keyakinan-keyakinan primordial yang dimiliki oleh setiap manusia sejak zaman dahulu kala. Itu kenapa muncul teori ide Platonik. Karena, manusia sejak dini sudah bermain-main dengan idenya yang kadangkala disebut juga imajinasi. Bukankah remaja adalah fase idol setiap orang? Mereka mencari-cari idola melalui lukisan, gambar, cerita, atau bahkan aktor-aktor film dan musik. Mereka tidak peduli meskipun kehidupan sang idola tidak patut ditiru.
Perlu dipertanyakan, mengapa seseorang baru memiliki kesadaran beragama atau benar-benar mampu menghayati perjalanan spiritualnya setelah usia menjelang senja, sementara masa-masa muda sekadar menjalani kewajiban belaka? Tradisi pun mengungkapkan kalau seseorang dikatakan telah menjalani kehidupan spiritual setelah mereka benar-benar dewasa.
Padahal, di satu sisi, puasa memang kewajiban yang harus dijalani oleh seorang muslim. Namun, mau tidak mau, puasa juga merupakan budaya yang harus dilatih dari sejak dini. Kewajiban puasa pada setiap pribadi muslim menjadi pengalaman primordial yang esensial dan mengesankan manakala hiruk pikuk tradisi seperti memukul bedug dan kentongan, membunyikan petasan, atau sahur bersama. Pengalaman tersebut menjadi tradisi yang memerlukan penghayatan dan pemahaman budaya. Bukan sekadar menjalani kewajiban belaka.
Tujuan-tujuan akidah adalah untuk membangkitkan kesadaran primordial yang paling esensial bagi setiap pribadi muslim berupa keyakinan. Sebagaimana keyakinan terus mengalami degradasi dan fluktuasi manakala tidak didukung kesadaran primordial esensial tersebut. Sementara syariat secara formal merupakan implementasi dan manifestasi dari wujud kesadaran primordial esensial yang dengan sendirinya akan berjalan. Sebagai sebuah contoh, seseorang yang hendak menekuni satu thariqah tertentu akan dibimbing pada latihan-latihan dasar dalam mengenal dan mengelola nafsu yang memang tidak bisa dihapus. Karena, nafsu adalah bagian integral pada diri pribadi setiap manusia yang memang tidak bisa dihilangkan. Tujuan-tujuan riyadlah seperti menjalani puasa-puasa dan wirid-wirid tertentu merupakan upaya pengendalian nafsu tersebut.
Dengan demikian, implementasi syariat dapat bertujuan pada perbaikan amal dan akhlak. Sebagaimana sering disebutkan dalam etika beragama. Pengenalan-pengenalan syariat dalam bentuk pelaksanaan fiqhiyah dan keterlibatannya di dalam tradisi dan budaya adalah perkara-perkara logika formal dan intelektual yang membutuhkan penalaran lebih luas dan kesungguhan belajar.
Dari sini dapat dipahami, mengapa Islam esoteris lebih bisa diterima lebih dahulu pada kehidupan manusia Nusantara, bukan Islam eksoteris yang mementingkan aturan-atutan formal dalam kehidupan beragama dan sejarahnya. Demikian pula, budaya tidak bisa dipahami sebatas aksesoris-aksesoris seremonial belaka.
Cirebon, 10 April 2022.